megamendungkelabu

Kamis, 22 Oktober 2020

My Birthday Party

Capek abis kerja seharian. Hari ini aku mengejar proyek storyboard di Fiverr. Ada total 30 frame. Banyak ya. Kliennya orang Italia. Jika job ini lancar,  maka pemasukanku bulan ini cukup besar buat disimpen sebagai tabungan. Alhamdulillah.

Aku bangun cukup pagi hari ini. Namun karena tidak terlalu bersemangat menjalani hidup, aku baru turun dari kasur jam 7 pagi. Sholat subuh?  Tentu saja telat. Aku sudah berusaha semampuku. 

Suasana pagi ini masih didominasi mendung. Langit cukup gelap saat aku berjalan ke kamar mandi. Segera saja badan ini aku guyur dengan air dingin. Hal ini cukup efektif untuk mengusir ngantuk. 

Dan oh iya,  hari ini aku ulang tahun. Nothing special. Dan seperti biasanya aku hanya merayakan momen ini dengan bersyukur dan sedikit berkeluh kesah. Ulang tahun kali ini aku mempunyai cukup banyak pencapaian di bidang finansial. Entah itu penting atau tidak,  namun yang pasti kebutuhan rumah tercukupi. 

Sebenarnya aku ingin bercerita banyak sekali. Namun rasa lelah ini tak bisa diajak berkomromi. Jika berkenan akan aku lanjutkan kapan-kapan. Langit masih mendung dan gelap sore ini, namun tadi samar-samar terlihat bulan yang muncul dibalik mega mendung yang berwarna kelabu. 

Mujix
Exhausted in happiness
Simo,  22 Oktober 2020





Rabu, 21 Oktober 2020

Separuh Usia di Masa Muda


Aku telah menghabiskan lebih separuh usia hidup dalam keadaan 'muak' terhadap diri sendiri. Sebagai seorang anak yang ditinggal merantau orang tua sejak kecil, perkembanganku dalam menerima 'keberadaan diri' baik secara lahir maupun batin mengalami keterlambatan yang sangat signifikan. 

Masa remaja dan pra dewasa adalah waktu terburukku. Berbagai masalah finasial,  sosial,  dan mental menghempaskanku tanpa ampun kala itu. Sejak saat itu aku mempercayai jika previlage itu (sangat) berperan penting dalam pendewasaan diri, meraih cinta dan cita. 

Hari ini hari terakhir di usiaku yang ke 31 tahun. Permasalahanku tak terlalu berbeda dengan apa yang aku hadapi di masa lalu. Kabar baiknya adalah beberapa previlage sudah berhasil aku 'ciptakan secara paksa' berbekal kerja keras dan semangat belajar dari waktu ke waktu. 

Terlepas dari previlage dan pencapaian yang sudah didapat hingga hari ini,  anugrah terbesar yang diberikan semesta yang paling aku syukuri adalah 'kewarasan' (dan kedewasaan) dalam berpikir. 

Beberapa masalah tentu masih ada. Sebagian sudah terselesaikan, sebagian masih mengambang,  dan sebagian lainnya menunggu muncul dengan atusias (untuk menampar,  mencaplok, menendang hidupku) di ujung jalan persimpangan masa depan.  

Sisi koin dari permasalahan adalah jawaban, yang kadang terealisasikan menjadi karya, cinta dan cita-cita.  

Satu demi satu impianku di hari kemarin sudah terwujud. Sempat kosong beberapa purnama namun saat ini sudah aku ganti (atau aku temukan?) dengan yang baru. 

Hidup masih berjalan seperti biasa. Walau masih terjebak di raga yang sama, namun cara berpikir dalam memandang hidup sudah jauh berbeda, apabila dibandingkan dengan saat diriku sendiri di masa lalu. 

Setidaknya aku 'agak sering' di posisi siap untuk menjalani hari ini dan masa depan (yang penuh kegamangan nan entah itu) dengan gagah berani! 

Well,  apapun itu, terimakasih sudah hidup dan bertahan hingga hari ini. Selamat bertambah umur, pria yang pernah 'muak' terhadap diri sendiri. Have a great day! 

Mujix
Foto diambil pada tahun 2006
Di suatu hari di masa muda yang
sangat melelahkan. 
Simo, 21 Oktober 2020



Sabtu, 17 Oktober 2020

Badai Ketidakmampuan di Bulan Oktober

Nafasku naik turun pelan. Mataku memandang kosong ke arah tanpa fokus yang jelas. Pertengahan bulan Oktober ini 'badai ketidakmampuan' itu menerjang lagi. Dan seperti biasa, ia menjerembabkan jiwa ragaku ke sebuah genangan tanpa air kebahagiaan.

Suara ayam berkokok di kejauhan. Terkadang bersimfoni dengan teriakan anak kecil yang sedang bermain. Sore ini tidak terlalu panas seperti kemarin,  namun rasa lemas dan lelah seakan berlipat ganda menimpa kepalaku. 

Kata buku yang pernah aku baca, hidup yang paling berarti adalah saat ini. Karena di detik ini katanya aku mempunyai sebuah 'kehendak bebas'. 

Ingin terus terpuruk atau memperbaiki diri hanya soal pilihan kaki untuk berjalan ke arah mana. Ke kasur untuk tidur atau ke dapur untuk mencuci piring bekas sayur,  itu beberapa pilihan yang bisa aku atur. 

Namun aku tidak bisa mengatur hatimu untuk mencintaiku. Namun aku tidak bisa mengatur agar hujan segera datang di detik ini agar udara menjadi agak dingin. 

Kehendak bebas yang terlihat megah itu ternyata memiliki aturan yang terbatas dan realistis. Aku tahu itu sejak lama. Karena aku tahu itu sejak lama,  sepertinya untuk detik ini aku akan memilih ke kasur untuk tidur.

Aku akan memperbaiki diri ketika mataku sudah tidak memandang kosong ke arah tanpa fokus yang jelas lagi. Atau setidaknya setelah 'badai ketidakmampuan' itu tidak menerjang lagi. Dan seperti biasa aku tahu itu. Sejak lama.

Mujix
Menurutmu apa yang harus aku lakukan untuk membuat diri menjadi pribadi yang bahagia? 
Simo,  17 Oktober 2020

Minggu, 11 Oktober 2020

Tidak Ada Belahan Hati Di Hari Rabu

Di dunia ini banyak hal yang tidak bisa dipahami oleh logika seorang manusia. Salah satunya adalah belahan jiwa.   

Terlahir menjadi manusia itu sangat konyol. Datang seorang diri lalu dipaksa untuk mencari belahan jiwa

Jatuh cinta,  patah hati, kemudian bertemu dan bersatu untuk saling memahami. 

Namun tak semua manusia menjalani semua itu dengan mudah. Ada yang terseok-seok bagai orang bodoh tak tahu arah. 

Ada yang salah. Ada yang tak bisa dipahami. Ada yang tak mau dicintai. 
Ada yang mau mencintai tapi tak masuk di hati. Lalu semuanya hanya akan bertemu di detik ini menjadi sebongkah rasa lesu di sanubari.

Entah sejak kapan beberapa hal di dunia walau tak bisa dipahami,  tapi bisa ditebak bagaimana ia akan bercerita. 

Perlahan semua hal di hidup ini menuju ke sebuah hari yang menyesakkan. Satu demi satu orang yang pernah menjadi bunga mimpi sekarang mereka menemukan belahan hati. Termasuk kamu. Dan kemudian aku. 

Mujix
Sedang sedih dan sedikit kecewa dengan diri sendiri. It's really suck life. 
Purwokerto, 10 Oktober 2020

Jumat, 09 Oktober 2020

Genteng Bocor

"Bajinduuuul!! " aku mengumpat tatkala melihat buku-buku di atas meja yang basah gara-gara air hujan. Buku baru favoritku, 'Membuat Komik' karya Scot Mc Cloud kusut terguyur seember tirta dari luar angkasa.  

"Cenuut...Cenuuut... "
Wadooh, kepalaku langsung berdenyut kencang. Mataku bergegas mengarahkan pandangan ke berbagai arah, dan kabar baiknya adalah, Alhamdulillah laptopku aman.

Kekecewaanku sedikit mereda. Tak terbayangkan jika yang basah kuyup adalah laptop. Pikiranku saling melompat sibuk mencerna apa yang terjadi. 

"Okey,  semuanya masih bisa dikendalikan." batinku. 

Dengan tangkas aku segera memindahkan semua buku yang basah dari meja ke tempat yang lebih kering. Dan sekali lagi, aku memastikan bahwa laptop tersebut aman. Ok,  it's big deal. Aku gak sial-sial amat, kok.  

Cuman ya gitu, agak kecewa doang sih gara-gara buku idolaku kusut.  Rasanya kek 'Indomie goreng yang jatuh di wastafel saat meniriskan air kuahnya'.  Namun sekali lagi aku tegaskan,  Aku gak sial-sial amat, kok.  Tenan. 

Semua buku yang basah sudah hijrahkan di lantai. Aku menghela nafas lega, walaupun kepala masih nyut-nyutan memikirkan peristiwa ini. 

"What the hell is that!?" begitu pikirku, jika ditranslate bahasa Planet Namec: "Bajindul,  kok iso seeh!?".

Aku menyusun semua hal yang ada di pikiran satu per satu. Bentar,  bentar,  Jadi sore ini hujan, agak deras juga sih. Namun tidak ada angin kencang seperti biasanya. Harusnya aliran air di genteng aman dong ya!? 

Sore ini,  tepat saat hujan turun, aku berada di ruang tamu, sedang kelelahan karena mengejar deadline dan membahas revisi klien Fiverr via ponsel pintar. Wuih. Belagu ya guwe. 

Kenapa di ruang tamu dan memakai ponsel pintar?  Karena aku butuh atmosfer baru. Seharian di ruang kerja menatap laptop benar-benar melelahkan. Fisik dan mental sedang berada di titik rendah. Jika kata para bucin 'rosone kesel, koyo ditinggal pas sayang-sayange'. 

That's why (sok keminggris adalah nama tengahku) aku gak sadar dan hilang fokus untuk beberapa puluh menit saat hujan sore ini. 

Padahal saat hujan datang aku biasanya  punya kebiasaan muter-muter rumah mencari titik kebocoran. Kenapa aku berkeliling rumah?  Karena hujan adalah cuaca yang anomali. Yes, cuaca berhujan itu random, kek kabar doi yang tiba-tiba nikah tanpa ngabarin elu sama sekali. 

Dan logika manusiaku bilang,  jika hujan 'nyantai' seperti ini biasanya sih rumah gak akan ada yang bocor. Biasanyaaaa. 

Makanya sore itu aku duduk-duduk ganteng aja di ruang tamu. 

Adzan Maghrib berkumandang. Aku belum bergerak dari sofa. Pekerjaan sudah hampir paripurna. Suara gemericik hujan di atas genteng mulai mereda. Hawa dingin menyeruak dari balik jendela. Bau tanah basah yang bercampur dengan suara katak nun jauh di kebun benar-benar syahdu. Teh panas yang aku seduh beberapa saat yang lalu sudah mulai menghangat. Aku sangat suka cuaca setelah hujan, semua terasa sangat lengkap, cuman kurang calon istri yang datang bawain pisang goreng doang. 

Tubuh mulai agak lelah. Aku segera berjalan menuju kamar. Ke sebuah peraduan di mana aku berkarya dan bekerja. Saat aku membuka pintu itulah seketika tubuhku membeku. 

Kamarku bocor!!!!
Air hujan di mana-mana!!!
Korbannya adalah buku-buku favoritku!!! 
Tidaaaaakkkkkk!!! 

Dan begitulah kronologi kisah sial petang ini. Aku mengambil keset untuk mengeringkan meja. Buku 'Membuat Komik' karya Scot Mc Cloud masih aku timang-timang dengan perasaan gamang. 

Buku ini adalah favoritku. Salah satu buku yang mengubah hidupku. Baru beli minggu lalu menggunakan akun Buka Lapak-nya Mas Dody YW. Kenapa beli di buka lapak? Soalnya sudah tidak terbit dan tersedia di toko buku. 

Ya secara buku ini terbitan tahun 2007. Saat buku ini muncul, aku masih mahasiswa dan tidak terlalu tertarik untuk membelinya. Yah,  saat itu aku memang sedang berada di situasi dalam mode 'bertahan hidup' sih. Jangankan buat beli buku,  buat makan aja susah. Dari masa-masa itu aku sadar bahwa 'previlage' itu memang sangat penting dalam menentukan nasib seseorang. 

Andaikata pada tahun 2007 aku mendapatkan passionku lagi dalam berkomik dan mempunyai uang yang banyak untuk membeli buku 
Buku 'Membuat Komik' karya Scott Mc Cloud ini,  mungkin aku bisa 'memotong' banyak masa yang (sepertinya) terbuang percuma dan segera menjadi komikus berilmu. 

Mungkin. Tidak tahu juga sih. Soalnya hal yang bersifat anomali dan random selain 'hujan' adalah 'kehidupan'. Quotes dulu,  Vro, wkwkkwk!

Buku bersejarah itu masih basah. Perasaan masih resah. Cuaca setelah hujan yang harusnya aku sukai ini tiba-tiba membuatku gelisah. 

Dan di saat susah seperti ini, biasanya akan datang 'kalimat-kalimat' pendewasaan dari diri sendiri yang dari hari demi hari sudah terasah. 

"Huft...  Yowislah... " ucapku. 
"Toh yang basah cuman kertasnya." batinku. Ya, benar. Yang basah hanya kertasnya. Aku terlalu meletakkan emosiku ke sebuah materi fana bernama 
'Buku 'Membuat Komik' karya Scott Mc Cloud yang basah'.

Aku melupakan esensi yang paling penting yakni, 'ilmu komik di buku itu tidak akan luntur karena terguyur air hujan'. Pelan-pelan aku mencoba memahami dan menerima pernyataan itu. Pelan-pelan.

Detik demi detik berlalu,  perasaanku sudah sedikit pulih. Buku itu aku letakkan di lantai bersama buku-buku lainnya yang basah. Malam ini aku sengaja membiarkannya tergeletak di sana. 

Aku bergegas mengambil sajadah untuk melakukan sholat maghrib yang sudah terlambat belasan menit. Di sela-sela ibadahku ada harapan kecil yang aku selipkan kepada Tuhan. 

Semoga esok hari cerah. Semoga esok hari aku sehat. Agar aku bisa menjemur buku favorit, lalu bisa membacanya dan mendapatkan ilmu pengetahuan baru.

Dan wah. Rasa 'cenat-cenut' di kepalaku tidak terasa lagi. Apakah artinya aku sudah berdamai dengan masa lalu dan nilai sentimentil buku ini? Semoga saja.  Hihihi <3.

Mujix
Komikus yang sedang bingung dan sedang memikirkan cara mencari jodoh di masa pandemi ini. 
Simo, 13 Oktober 2020













Jumat, 02 Oktober 2020

Humor Bapakku

Bapakku nonton televisi, saat itu ada program acara 'stand up comedy'. Beliau mengamati sang komika sedang ngebanyol. Menit demi menit. Suara tawa penonton di televisi itu bergemuruh dari waktu ke waktu.

Bapakku masih mengeryitkan dahi. Sambil menghela napas penuh kebingungan beliau menggerutu 'Koyo ngono ae kok digeguyu! ". Lalu chanel TV berpindah ke siaran berita yang membahas Corona. Tidak ada tawa di acara berita itu. 

Keesokan harinya,  di suatu siang yang panas,  terdengar suara tawa bapakku terkekeh-kekeh. Aku yang sedang di kamar ngerjain komisian jadi penasaran dong. Berlari kecil aku ke teras. Bapakku duduk di kursi tamu tengah menonton video wayang di Youtube melalui ponsel pintar. 

"Nggeguyu opo to,  Pak?" tanyaku. 
Beliau menunjukkan seorang sinden bocah belia yang tengah ngebanyol dengan seorang dalang,  yang ternyata dalang tersebut adalah bapak sang pesinden cilik.

"Ikilhoo dagelane lucu banget" katanya dengan penuh antusias. Aku hanya ikut terseyum dan memahami sesuatu yang baru. 

Setiap orang ternyata memiliki selera humornya masing-masing. Bapakku tak bisa menemukan kelucuan soal 'jokes' intelek nan cerdas para komika,  namun ia malah menemukan ke-gayeng-an guyon mataraman di acara wayang tersebut.  

Aku jadi mikir,  jangan-jangan selera humor itu seperti baju favorit, yang tak semua manusia bisa cocok dengan ukuranmu dan tak bisa dipaksakan. Wah kalau gitu hampir sama kayak 'ajaran agama' juga dong? 

Seseorang berteriak dari toilet,
"WOO YA NDAK BISA!!!  AGAMA SAMA PAKAIAN NDAK BISA DISAMAKAN!!! BEDA ITU BEDAAA!!! "

Mujix
Indomie goreng jika dimasak
secara inovatif ternyata jadi 
luar biasa enaknya. 
Simo, 2 Oktober 2020