megamendungkelabu

Sabtu, 31 Maret 2018

Nenek Tua Di Perempatan Jalan


Dulu waktu kuliah pernah pulang malam dari kampus, kurasa saat itu udah lebih dari jam 00.01 WIB. Darimana aku tahu? Karena ankringan di ujung perempatan sudah tutup.

Suasana sangat lengang. Aku berjalan kaki dengan harap-harap cemas. Dari kejauhan terlihat sesosok nenek menyapu di perempatan. Dan sialnya aku harus melalui perempatan tersebut jika harus sampai ke kost. Aku terus berjalan saja menuju perempatan itu dengan hati gamang.

Pelan dan terus melangkah akhirnya aku sampai di perempatan. Nenek itu masih terus menyapu. Aku mencoba melirik beliau, namun sayang wajahnya tidak terlihat jelas.

Ada satu yang aneh. Biasanya jika melewati seseorang atau kerumunan orang, aku selalu permisi. Namun untuk saat itu aku diam saja. Entah kenapa.

Aku melewati nenek yang terus menyapu itu dalam hening dan hanya terdengar suara gesekan lidi dan jalan beraspal. Aku mulai berjalan menjauh dari perempatan.

"Sreekkk.... Sreeekkk.... Sreeeekkk"
Suara sapu itu masih terdengar perlahan.
Aku berhenti sejenak. Mulai berpikir dengan kalut. Pelan-pelan aku mencoba menoleh ke arah suara tersebut.

Dan apa yang terjadi?
Nenek menyapu itu tiba-tiba sudah lenyap dari perempatan. Hilang! Seketika bulu romaku berdiri sambil jantung berdegup kencang.

Apakah aku berlari ngacir tunggang langgang seperti film-film horror lokal yang sering tayang di bioskop?

Tidak! Aku hanya mengumpat berbagai nama binatang di dalam hati dan bersyukur jika aku pernah mengalami kejadian se-horror tersebut. Bajindul tenan ogh!

Mujix
Plot twist: ternyata nenek tersebut
Adalah tim 'Minta Tolong' yang menguji
Rasa kemanusiaanku dalam membantu sesama. Fail kau, Jix! Fail!
Bogor, 31 Maret 2018.

Jumat, 16 Maret 2018

Berjalan ke Utara

UJadi, kemarin aku ke Jakarta.
Sudah beberapa kali aku menjelajahi kota ini. Aku biasanya jika ke kota ini hanya sekedar 'datang', 'ngurus apa yang perlu diurus', kalau udah beres lalu 'pulang'. Namun untuk kali ini, setelah semua urusan udah beres, aku memutuskan untuk 'get lost' sejenak.

'Get lost'? Ya. 'Get lost'! Tersesat secara sengaja di tempat baru yang belum diketahui adalah salah satu caraku dalam menikmati hidup. Beneran! Aku sangat menyukai tempat-tempat baru dan orang-orang baru.

Jadi, mau ke mana nih? Aku teringat sebuah tayangan di televisi mengenai tempat di mana ada orang-orang yang pengamen foto berkostum tentara berwarna emas. Langsung aku memutuskan pergi ke Kota Tua (yang semenit sebelumnya tertukar nama dengan 'Kota Lama' di Semarang).

Perjalanan dimulai. Aku kadang berjalan kaki. Kadang bertanya lokasi. Kadang memantau Google Map. Kadang naik ojek on line. Di sepanjang perjalanan sederhana itu aku sedikit memahami banyak hal tentang kota paling sibuk di negara ini.

Di Jakarta, semua orang tampak sangat sibuk. Mereka berjalan tergesa-gesa. Bekerja dengan serius. Dan bergerak ke sana ke mari. Ora nyantai. Beda sekali dengan manusia-manusia yang sering aku temui di Solo atau kota-kota lainnya. Semua orang tampak serius.

Apalagi jika menatap wajah para penumpang di KRL saat jam kerja. Hey folks, you really need a holiday.

Aku jadi teringat omongan bapakku mengenai bapaknya (atau kakekku). Jadi di suatu waktu di masa lalu, kakekku meramalkan bahwa 'suatu saat manusia akan mencari uang dengan sangat sibuk dan berjalan ke sana ke mari seperti laron yang beterbangan menuju matahari'.

Sebenarnya beliau berpetuah dengan bahasa Jawa yang sarat kiasan. Aku translate asal aja yang penting maksudnya tersampaikan. Kenapa aku sebut ramalan? Karena saat kakekku berkata seperti itu, beliau hidup di desa pada era 40an, yang orang-orangnya untuk mencari nafkah masih 'santai' dan tak se-sibuk sekarang. Bukankah itu sangat visioner sekali!?

Dan benar saja. Apa yang tampak di depanku saat itu di Jakarta adalah orang-orang yang bergerak demi mencari uang (atau mewujudkan apa yang mereka inginkan, jika kata 'uang' terlalu sensitif).

Mereka berjalan ke sana ke mari, sibuk, bahkan untuk yang kelihatannya sedang 'nyantai'-pun aja mukanya tegang entah karena apa. Apakah Jakarta se-melelahkan itu, teman-teman?

Sangat lucu sekali jika kenyataan yang harus kuterima sesuai sekali dengan ramalan kakek. Bapak dan mamakku orang Boyolali, mereka mencari nafkah di Kota Bogor. Sedangkan Bang Udin, orang Sukabumi mencari nafkah di kota Solo.

Kenapa gak tukeran tempat aja!? Bang Udin ke Bogor, orang tuaku ke Solo. Kan enak. Agak deketan lah. Enggak nyusahin waktu nyari tiket kereta buat mudik. Namun ya begitulah. Life adalah hidup.

Selain orang-orang yang sibuk, Jakarta tidak terlalu seram seperti yang ditayangkan oleh berita-berita kriminal di televisi. Mungkin aku sedang hoki. Mungkin memang untuk beberapa orang mereka sedang sial. Atau sebaliknya.

Sering kali aku menemui beberapa orang baik di Jakarta. Entah itu orang asing maupun orang-orang yang sudah di zona pertemanan. Aku (sedikit) percaya bahwa apa yang kita dapatkan saat ini adalah benih yang kita tanam di masa lampau. Aku bersyukur masih diberi kesempatan bertemu orang-orang baik di tempat asing.

Orang yang sibuk, Kota yang tidak terlalu seram dan masih banyak orang baik, satu lagi yang menggelitik hatiku adalah hilangnya lembayung senja di kota tua.

Di beberapa sudut kota aku menemukan banyak tempat di mana senja hanyalah kata saja. Beneran. Seringkali ketika  singgah di suatu tempat,  aku berjumpa dengan banyak gedung menjulang yang menghalangi langit.

Pernyataan sepihak ini aku dapatkan ketika aku pulang dari Kota Tua menuju Stasiun Jakarta Kota untuk kembali ke Bogor. Saat itu jam 17.00 WIB. Jika di kota Solo atau Boyolali, di jam-jam itu lembayung senja berwarna jingga bisa kau pandang sepuasnya hingga malam tiba. Di Jakarta!? Hmmm.

Terhalang gedung menjulang. Tertutup papan iklan. Terhadang rasa rindu yang tidak mau hilang. Apakah aku harus pergi ke Tanjung Priok atau Monas untuk bertemu matahari yang hendak pergi ke alam mimpi?

Kota Tua di sore hari suasananya sangat asyik. Banyak hal yang menarik di sana. Keadaannya mirip alun-alun selatan di Kota Solo, tanpa mas-mas penjual Bakso Bakar dan teh tubruk wasgitel di wedangan HIK. Ohh. Kurasa Jakarta butuh banyak penjual Wedangan Hik yang tehnya mantap. Aku sangat yakin teh hangat beraroma wangi, manis, panas dan kental bisa meredakan ketegangan para Jakarta Mania.

Jakarta sangat tenang, bagiku seorang pendatang yang hanya bertandang mencari rasa senang. Karena pergi kemanapun semua tempat bagaikan rumah jika seseorang sudah berdamai dengan dirinya sendiri. Suatu saat aku akan mampir lagi.

Mujix
Mencoba mengubah semesta
Bogor, 16 Maret 2017

Minggu, 04 Maret 2018

Kala Mamakku Menangis Pagi itu

Di sepanjang ingatan ini di kepala, dua kali mamak menangis gara-gara aku.

Yang pertama saat aku sakit tipes dan diopname menginap di rumah sakit beberapa hari saat SMA.

Yang kedua saat aku lupa memberi kabar Gara-gara kecapekan dan belum makan seharian saat perjalanan dari Solo melalui Jakarta menuju Kota Bogor hari ini.

Dasar bodoh. Ingin rasanya aku menonjok diri sendiri atas kelalaian ini. Merasa berdosa banget. Mungkin benar kata Bapak, terkadang harus ada peristiwa-peristiwa seperti itu agar aku menyadari bahwa cinta itu ada mesti kadang tidak tampak di depan mata.

Dan aku ditampakkan sebuah rasa cinta saat melihat wajah mamak yang merah dengan mata berair gara-gara menangis karena khawatir. Sedih.

Mujix
Merasa sangat menyesal.
Bogor, 6 Maret 2018