megamendungkelabu

Senin, 30 Desember 2019

2019

Tahun ini adalah tahun yang berat. Yah, setiap tahun memang berat, tapi tak sedahsyat tahun ini. Awal tahun baru ini aku masih di Bogor. Penyakit burn out ultahku parah sangat. Semua kelelahanku di sepanjang hidup bermuara di tahun 2019.

Di tahun ini pula Simbahku berpulang, meninggal sekitar 5 bulan yang lalu. Bersamaan dengan hal tersebut, Mamak dan Bapak pindahan dari Bogor menuju kampung. Ini adalah hajatan yang sangat besar. Energiku terkuras di sini.

Semua pekerjaan dan obsesiku hampir tak membuahkan hasil. Atau membuahkan hasil namun tidak sesuai dengan rencana semua. Faktor internal yang rapuh dan dihantam faktor eksternal yang membabi buta, membuatku makin yakin untuk mendaulat tahun 2019 sebagai tahun terberat di dalam hidup.

Karirku sebenarnya cukup bagus dan membanggakan. Pendapatan lumayan besar. Sayangnya keadaan keluargaku sedang buruk. Hampir 90% keuanganku habis untuk menambal kebutuhan orang banyak. Terjadi berkali-kali. Terjadi dalam nominal yang besar dan membuat neraca penghasilanku hancur tanpa menyisakan tabungan sepeserpun. Hingga akhirnya di pekerjaan yang kesekian kalinya aku mengalami kelelahan mental.

Benar-benar capek. Dan kabar terburuknya, tidak ada energi kebahagiaan yang masuk di dalam diriku. (Aku merasa) Tak ada satupun yang mencintaiku. Hidupku yang sangat megah bagai kotoran manusia di tahun ini.

Setelah simbah meninggal, dan pindahan dari Bogor, aku mengambil jeda istirahat beberapa bulan. Sebuah jeda di mana aku tidak melakukan apa-apa dan terus menerus berduka. Tidak mencoba untuk bangkit. Tidak mencoba untuk berdiri.  Apalagi berlari. Benar-benar sebuah titik terendah dan terlelah. Lebih buruk dari masa paling buruk di saat aku beranjak dewasa dulu.

Membaca semua ini aku merasa malu. Harusnya kusimpan sendiri. Harusnya aku menjadi orang yang kuat. Harusnya. Namun yah, aku tak sekuat itu, bro! Semua ini aku tanggung sendiri. Tak kuceritakan siapapun! Bisa saja aku tak menulis catatan ini dan membiarkan waktu berlalu.

Namun mungkin aku tidak akan belajar.
Namun mungkin aku akan mengulangi semua kebodohan-kebodohan di masa lalu. Aku menulisnya. Untuk aku baca sendiri. Untuk aku pelajari sendiri.

Setelah ini, aku akan mencoba menjadi manusia yang lebih baik. Dan ajaibnya hingga hari ini aku belum mati. Secara tidak langsung, Tuhan (siapaa atau apapun itu) ingin aku tetap hidup untuk menjalankan cerita yang Ia gariskan.

Dan yeah, cerita hidupku belum selesai. Dalam artian baik dan buruk. Untuk kali ini aku menuliskan keluhan. Namun di lain waktu aku akan lebih sering menulis pujian dan hal-hal baik.

Mujix
It's time to get up
And shine the way
Simo, 30 Desember 2019

Minggu, 29 Desember 2019

Mbah Prapto

Tidak pernah ada sosok Mbah Kakung di dalam kehidupanku. Jadi jika dulu kalian bertanya padaku "Piye rasane nduwe Mbah Kakung?"

Paling yo tak jawab
"Wah, Ra reti aku, coy! ".

"Tapi nek koe tekok pie rasane nduwe wajah tampan berambut kribo, aku iso Njelasne!"

Namun tidak dengan sekarang. Karena beberapa peristiwa, aku memiliki 'sosok' yang telah kuanggap sebagai 'Mbah Kakung' sejak beberapa tahun yang lalu. Sosok itu bernama Mbah Suprapto Suryodharmo.

***

Di suatu siang yang panas di tahun 2015, hapeku tiba-tiba berbunyi. Saat itu aku yang sedang berada di wedangan Pendopo Sriwedari sedang rapat kecil acara komik bersama Feri dan beberapa teman Komisi Solo.

Sudah 10 menit aku menunggu balasan pesan singkat dari Mbah Prapto, seorang kakek-kakek berprofesi sebagai empu tari, performer dan seniman internasional yang sangat di segani di kota Solo.

Beberapa saat kemudian hapeku bergetar. "Halo, Mas Mujieks! Ada apakah?" Suara beliau terdengar renyah di speaker Hape.

Saat itu aku dan teman-teman Komisi Solo sedang membuat acara workshop komik bersama 'Simon Heureu' di Museum Radya Pustaka, dan Mbah Prapto menjadi pembina dalam acara tersebut.

Sudah beberapa minggu ini kami terus berinteraksi agar workshop tersebut bisa terselenggara dengan lancar.

"Hari ini bisa ketemu, Mbah? Pengen ngobrol soal detail acara dan mungkin sekalian nanya-nanya soal rancangan dana buat bikin kompilasi hasil workshop!" Ujarku dengan sedikit terbata-bata.

"Wah, ndak bisa mas Mujieks. Saat ini saya sedang di Jerman. Ada acara perform! Kalau minggu depan piye?" Kata Mbah Prapto yang ternyata berada di ujung dunia lain di benua Eropa.

"Siap, Mbah! Ndak papa! Ketemu minggu depan juga oke! Maturnuwun, Mbah!" Aku menutup hape tersebut dengan wajah agak sedikit terkejut. Kemudian aku memandang Feri sambil berguman.

"Neng Jerman, Fer! Mbah Prapto lagi neng Jerman. Aku sing paling adoh paling dolan mung tekan Karanganyar, Sragen mentok Jakarta! Dek'e malah neng Jerman."

Terus Feri menambahi.

"Soko Jerman nelpon sisan, pulsane entek piro yo?"

Kami berdua langsung tertawa terbahak-bahak. Beberapa manusia memang tercipta dan hidup di dimensi yang berbeda.

***

Di sepanjang hidup aku belum pernah bertemu dengan anggota keluarga yang bernama 'Kakek'. Mbah Kakung dari Mamak, katanya meninggal muda disiksa saat gerakan G30S PKI. Mbah Kakung dari Bapak, konon meninggal  di usia 120 tahun saat aku masih kecil.

Sejak kejadian ditelpon Mbah Prapto dari Jerman tersebut, aku dan beliau jadi sering bertemu. Berdiskusi banyak hal mengenai manusia, kebudayaan dan tentu saja komik.

Bahkan jika boleh jujur, aku menggambarkan sosokku di masa depan seperti beliau. Kakek-kakek berambut panjang warna putih, fasih berbicara banyak bahasa, pandai, dan tentu saja bisa melanglang buana dengan karya. Wow! Jutaan orang tidak tahu bahwa ada sesosok kakek keren seperti ini.

Jika di dunia Manga, keberadaan Mbah Prapto itu bagiku seperti Garp di One Piece, Bang di One Punch Man atau Tetua Makarov di Fairy Tail.  Pokoknya semacam mbah-mbah bijak nan epic dengan kekuatan meledak-ledak. Bedanya, jika para tokoh manga itu kuat dalam berkelahi adu jotos di pertempuran, maka Mbah Prapto kuat dalam hal melakukan pertunjukan seni.

Di suatu acara Hari Menari Sedunia, beliau menari 24 jam. Maksudku, menari selama satu hari satu malam itu sangat keren sekali. Aktivitas itu membutuhkan banyak persiapan. Baik secara fisik, mental, dan spiritual. He just do it And he did it! He's show the true powers from human culture with dance!

Tarian oleh masyarakat kadang dilabelkan sebagai kegiatan bersenang-senang yang hanya dilakukan oleh perempuan. Stereotip tersebut tidak berlaku untuk beliau. Dengan tariannya Mbah Prapto banyak menciptakan penari-penari muda yang datang kepadanya untuk belajar. Ia bahkan memiliki pesangrahan tempat belajar menari bernama, Padepokan Lemah Putih. Jan wis dadi pendekar tenan!

Pernah di suatu waktu, aku memergoki beliau sedang berbicara bahasa Inggris dengan turis yang sedang kebingungan. Melihat mbah-mbah pendekar yang 'njawani' dan fasih ngomong inggris itu bagiku sangat menakjubkan.

Hal tersebut pula yang kurasa membuatku makin kagum tanpa sadar. Bahkan kekagumanku tersebut pernah aku celetukkan pada mamak dan bapak beberapa hari yang lalu.

***
Beberapa hari yang lalu. Bapak dan Mamak sedang menonton acara 'Pandhopo Kang Tedjo' di TVRI Jogja. Pada episode itu bintang tamunya seniman lukis sepuh dari Solo bernama Pak Kawit.

Lalu aku tiba-tiba nyeletuk.
" Aku mudeng wong iki, Mak! Kadang sering ketemu pas ono acara-acara seni neng Solo!"

"Heh? Tenane, Yon!?" Ucapnya tak percaya.

"Tenan! Neng Solo kui akeh wong-wong sing sangar lhoo! Salah sijine yo Pak Kawit iki!" Kataku sambil meringsek duduk mendekati televisi.

"Bahkan neng Solo to Mak, ono mbah-mbah gayeng sing wis tak anggep Mbah kakungku dewe, jenenge Mbah Prapto!" Ujarku sambil tersenyum. Kedua orang tuaku bengong. Lalu kujelaskan sedikit tentang beliau.

Yha, kurasa itulah terakhir kalinya aku 'ngrasani' soal beliau.

Sedangkan pertemuan terakhirku dengan Mbah Prapto terjadi beberapa waktu yang lalu. Di Balai Soedjatmoko, Solo.

Di tempat itu aku yang awalnya hanya mampir, lalu bertemu tidak sengaja di ruangan tersebut. Bertanya kabar, tertawa hahahihihohohihe, dan bersenda gurau adalah menu wajib kami saat bertemu.

"Ayo, Mas Mujieks, kapan gae acara komik maneh! Tak dukung tenan lhoo!" Ujarnya sambil terkekeh. Acara workshop yang kami adakan kemarin memang lancar jaya. Tentu saja menarik perhatian banyak orang untuk melihat kelanjutannya.

Saat beliau bilang 'komik' aku malah teringat sesuatu. Langsung saja aku obok-obok tas rangsel. Dan Voila! Aku ternyata secara kebetulan masih membawa komik 'Proposal Untuk Presiden'.

"Mbah, njenengan wis gadah komikku sing niki dereng?" Tanyaku sambil menyerahkan buku komik bersampul merah tersebut.

"Weh, komik opo, Mas Mujieks? Proposal Untuk Presiden? Wah mantep! Durung nduwe aku!" Ucapnya sumringah.

"Lha niki komike nggo njenengan, kenang-kenangan saking kulo, Mbah. Disimpen nggih!" Kataku sambil merapikan isi tas rangsel.

Aku masih ingat wajah cerah nan bersemangat saat beliau menerima komik yang aku buat. Berkali-kali benda itu ditimang-timang dan dibolak-balik halamannya. Sesekali ia menunjukannya ke orang-orang yang lain di ruangan tersebut. Aku senang.

Setelah bercengkrama cukup lama aku memutuskan untuk pulang. Saat berpamitan beliau bilang untuk meminta foto bersama karyaku.

"Foto dulu nuh, Mas Mujieks! Bersama karyamu! Buat dokumentasi!" Pintanya dengan bersemangat. Aku makin senang.

Mungkin ini yang dimaksud kebahagiaan ketika hubungan antar manusia mulai terkoneksi.

Mak ckreeeeek! Akhirnya momentum seru itu sudah berpindah ke hape baruku. Kemudian aku berpamitan. Tanpa menyangka jika saat itu adalah pertemuan terakhir kami.

***
Mbah Prapto bagiku adalah sosok yang ramah. Beliau dengan mudahnya berinteraksi dengan bocah kribo nan introvert seperti aku. Sejak saat itu aku selalu menganggapnya sebagai 'Mbah Kakung'.

Jadi jika kalian bertanya padaku "Piye rasane nduwe Mbah Kakung?"

Kalian bisa menemukan jawabanku di sela-sela kekaguman, rasa senang, dan rasa kehilangan atas beliau di postingan ini.

Sugeng tindak Mbah, swarga langgeng!

Mujix
Di tahun ini selain Mbah Prapto, aku juga kehilangan Mbah Rembyung, simbah putriku satu-satunya.
Catatan tentang beliau masih on progress, terlalu emosional bagiku hingga catatan tersebut belum terselesaikan hingga saat ini. Wish me luck!
Simo, 29 Desember 2019

Sabtu, 21 Desember 2019

Makhluk Tak Kasat Mata

"BAJINDUL!!! OPO KUI??!!"
Aku berteriak panik di dalam hati. Tubuhku gemetar hebat. Bulu roma di sekujur badan berdiri dengan lebat. Nafasku mulai tak beraturan.

Tak jauh di depanku berdiri sesosok makhluk ganjil nan asing yang energi keberadaannya memecah keheningan malam di sebuah pertigaan jalan di Kota Bogor.

"OPO KUI, CUUKKKK!!!" Aku terus berteriak di dalam hati. Jantungku berdebar sangat keras. Untuk pertama kalinya aku merasakan ketakutan yang sangat pekat. Apa yang akan terjadi selanjutnya?

Baiklah, Ini adalah salah satu cerita pertemuanku yang kesekian kalinya dengan makhluk-makhluk di luar nalar. Dan ini adalah pengalaman yang akan mengubah sudut pandang spiritualku selama ini. Bismillah, Semoga aku bisa menyampaikannya dengan lancar.

***

Beberapa puluh menit sebelumnya. Di suatu malam yang penat di kota Bogor. Aku berada di meja gambar, sedang membedah agenda mingguan. Beberapa kegiatan terlaksana dengan baik, beberapa lainnya gatot, alias gagal total. Nah, yang gatot-gatot gini nih bikin empet di pikiran.

Sudah dari tadi prosesku menata rencana agenda tak membuahkan hasil. Sepertinya aku butuh rehat. Ini saatnya ke taman perumahan! Ya, Taman Perumahan! Sebuah tempat favoritku (setelah Gramedia Botani Square) di kota Hujan ini.

Waktu menujukkan jam 20.10 Wib. Aku memakai jaket biru hadiah dari keponakan dan memasukkan ponsel pintar ke sakunya. Setelah berpamitan sama orang rumah, langsung deh aku cus ke taman tersebut.