megamendungkelabu

Minggu, 26 Januari 2020

Kencan yang Gagal

Kencan hari ini gagal. Selain faktor  sumber daya manusia yang buruk, alam turut andil dalam menyumbangkan cuaca yang tidak bersahabat.

Sumber daya manusia yang buruk hari ini disponsori oleh ketidaktegasan dalam mengambil keputusan. Aku. Aku yang payah karena menjadi pria plin plan tak bisa pegang omongan sendiri.

Harusnya kita janjian di Mojosongo. Aku saat menyanggupi pilihan tersebut dalan kondisi yang fit. Namun saat hari H, aku merasa Mojosongo sangatlah jauh. Belum lagi biaya ongkos yang mahal. Ketakutan demi ketakutan menumpuk memaksaku untuk mendadak minta pindah tempat.  Sialnya, energiku yang kurang bagus mengamini perbuatan tersebut. Fail level satu: Miskin & kondisi kurang fit. Aku kalah karena kehabisan energi dan tidak punya banyak uang.

Pesan moralnya, jadilah orang yang kaya raya! Karena menyalahkan orang lain, cuaca, dan Tuhan sudah biasa, maka sekali lagi JADILAH ORANG KAYA!!!

Mujix
26 Januari 2020

Jumat, 24 Januari 2020

Gurita Gongso

Nalam itu aku pergi ke perayaan imlek di Pasar. Hidungku mencium bau harum nan menggoda yang ternyata berasal dari stan Gurita Cumi Gongso.

"Pironan, Pak?" Tanyaku.
"Selawe ewu, Mas!" Jawab sang penjual.
"Suwun, Pak!" Kataku sambil ngloyor pergi.

Aku punya duit. Cuman aku tidak punya anggaran untuk membeli cemilan yang satu porsinya Rp. 25.000.

Mbok mending nggo tuku komik One Piece! Mbok mending tak tabung nggo tuku mas kawin. Mbok mending. Mbok Mending. Gitu terus.

Semenjak peristiwa itu aku mendadak jadi bapak paruh baya yang hobi mengomel.

Ketemu Si A langsung aku ceritain soal mahalnya harga Gurita Cumi Gongso.

Ketemu Si B langsung aku ceritain soal mahalnya harga Gurita Cumi Gongso

Ketemu Si C, ketemu si D, dan ketemu siapapun aku ceritain seberapa mahalnya cemilan yang satu porsinya Rp. 25.000. Gitu terus.

Kalian tahu mengapa aku begitu cerewet soal uang? yang mungkin bagi sebagian orang nominal tersebut sangat receh.

Karena aku sedang giat menabung. Menabung untuk kebutuhanku di masa depan yang sangat tak tertebak. Sangat tak tertebak seperti peristiwa ini.






Koyo Dolanan

"Kabeh sing tak garap ki koyo dolanan!"
Katanya bangga.

"Gak ono deadline! Nek pengen garap yo tinggal garap!" Katanya lagi.

'Bener gak ono deadline, mulakmen gak ono duite!" Batinku yang tahu keadaannya dari kaca mata orang lain.

Mujix
Mencoba untuk tetap realistis.
Jumat, 24 Januari 2020

Kamis, 23 Januari 2020

Pulang

'Aku sedang tidak ingin pulang' begitu pikirku pagi itu. Semua keluhan itu muncul jika mengingat beberapa permasalahan terkait keuangan keluargaku di rumah beberapa minggu ini.

Masalah duit dengan keluarga dekat memang rumit dan sensitif. Itulah yang membuatku gamang.

Sudah lima hari aku berada di Sukoharjo, dan ini memang waktunya kembali ke rumah.

Ya, aku malas pulang.
Namun sialnya, aku juga sedang muak berada di kantor. Sebuah dilematis yang hakiki. Aku menghempaskan tubuhku ke kasur tipis di ruang kerja Pak Bos.

Memikirkan apa hal terbaik yang harus aku lakukan. Di pagi hari nan damai itu pikiranku berkelana entah ke mana. Mengingat banyak hal baik rekaman ingatan berupa visual maupun audio.

Lalu tercetuslah omongan Mas Bejita soal keluarga. Obrolan itu terjadi di wedangan Pak No beberapa hari yang lalu.

Ia bilang 'Keluargo kui penting byats, Nde!'.

'Suk yen koe mati, sing nompo mayitmu ki dudu konco utowo wong liyo!' Katanya lagi.

'Sing nompo lan ngurusi yo mung keluargo!' Tukasnya dengan tegas.

Aku tercekat. Ingatan tersebut menyentakku pagi ini yang sedang bingung. Aku bergegas merapikan meja kerja. Dan memutuskan untuk bersiap pulang.

'Aku sedang tidak ingin pulang' begitu pikirku. Namun aku harus pulang.

'Tidak ingin pulang ke rumah saat masih memiliki keluarga' adalah sebuah masalah. Aku akan pulang dan menyelesaikan masalah itu. Aku yakin ada jawaban di setiap permasalahan.

Mujix
Seseorang yang akhirnya menemukan jawaban dari permasalahan soal kepulangan ke rumah.
Simo, 23 Januari 2020

Sabtu, 11 Januari 2020

Tentang Karya Feri

Di suatu sore yang biasa, aku membersihkan rak buku. Rumahku tidak ada plafonnya. Jadi setiap seminggu sekali, merapikan dan membersihkan studio adalah kegiatan rutin. Sesekali aku memilah barang, sesekali aku menumpuk buku, dan sesekali aku membuang sampah.

Beberapa menit berlalu, perhatianku teralihkan oleh lembaran-lembaran fotokopi berwujud komik. Lalu benda-benda tersebut aku ambil. "Wah, kangen sekali dengan karya ini" aku berguman.

Tumpukan kertas itu aku aku pindahkan ke tempat lain. Tempat yang lebih mudah dijangkau. Dengan harapan, setelah acara bersih-bersih ini selesai, aku bisa membacanya lagi.

Waktu beranjak malam. Sudah ada segelas teh hangat dan camilan ringan hasil 'ngrampok' warung sebelah. Setumpuk kertas HVS bergambar nan penuh coretan yang sudah aku pilah  itu sudah berada di depanku.

Aku menghela nafas panjang. Saatnya membaca  komik karya masa lalu dari kisah kawanku bernama Feri.

Feri dan karyanya adalah salah satu dari sekian banyak misteri di dunia yang tidak bisa dijelaskan dengan logika manusiaku.

Di karyanya pada era 2008, awal dimana perjumpaan kami, aku disuguhkan komik dengan tema-tema yang jujur, frontal, dan terkadang sangat 'mengerikan'.

"Wah Loro koe, Fer! Parah!" Begitu ungkapanku setiap kali membaca komiknya. Kata 'Loro' di kalimat tersebut berarti 'sakit'. Dan memang semua buah tangan Feri kala itu sangat 'sakit' dan 'unik'.

Gimana enggak, di balik sosok yang 'prengas-prenges' nan ramah tersebut, saat itu ia membuat karya berjudul 'Mari Menyakiti Diri Sendiri', yang isinya tentang mutilasi, self harming, hingga kata-kata kasar yang tidak sedap dipergaungkan di khalayak luas.

Terlalu jujur! Terlalu frontal! Dan terlalu terbuka hingga membuatku lambat laun merasa iri terhadap sikapnya sangat 'be his self' dalam bercerita dengan karya.

Aku belum bisa sejujur itu. Di masa itu aku masih mempunyai banyak topeng yang tersemat di karya.

Pada di suatu masa, aku secara terbuka berkata kepada Feri, tentang seberapa aku sirik dan salut dengan kejujurannya dalam membuat karya.

"Mbok aku diajari nggawe karya koyo ngono kui, Coy?" Pintaku.

Dan seperti biasa dia hanya prengas-prenges sambil bilang "Gayamu ji!! Sing penting berkarya, Jii! Sak senengmu!". Aku hanya terkekeh mendengar ucapan tersebut.

Feri dan karyanya adalah salah satu dari sekian banyak misteri di dunia yang tidak bisa dijelaskan dengan logika manusiaku.

Misterinya adalah, ada ya manusia yang  bisa bercerita tentang dirinya secara sangat jujur, terbuka, dan tidak memperdulikan apapun tanggapan pembacanya dengan sangat fiktif nan imajinatif.

Waktu berlalu. Karya Feri makin bertambah. Lalu terlahirlah karakter-karakter semacam Mas Sukiwo, Mas Bendot, dan tokoh imajiner versi dirinya sendiri.

Dari hari ke hari karyanya semakin dewasa. Goresannya makin matang. Kesukaannya terhadap novel grafis Epileptik dan buku non fiksi sejarah Jawa terlihat sangat mempengaruhi perfoma gambarnya akhir-akhir ini.

Karya datang dan pergi. Insiden hilangnya satu kardus karya seni beliau adalah pukulan yang berat. Namun ia terus saja menggambar, (dan terlihat) tanpa mengenal lelah. Bercerita banyak hal, berkisah tentang rupa-rupa dunia hingga membuat semesta yang nyata.

Aku menghela nafas panjang. Teh hangatku sudah habis, camilan dari warung sebelah telah raib. Namun kebahagiaanku saat membaca komik Feri masih tersisa hingga kini. Salam saparatos!

Mujix
Abis wawancara dengan suatu pengembang aplikasi. Ia mengambil dataku melalui FGD. Dapat uang saku 40.000. Tiba-tiba aku merasa sangat sedih. Baki, 11 Januari 2020

Jumat, 03 Januari 2020

Lha Ngopo!?

"Resolusimu nggo 2020 opo, Jik!"
Mas Bejita bertanya padaku saat nongkrong di wedangan Pasar Klithikan pagi ini.

Mau aku jawab 300 dpi, kok udah mainstream banget. Ya sudah aku jawab apa adanya.

"Tahun ini aku gak buat resolusi, tapi buat kebiasaan baru!" Jawabku.

"Dalam sehari aku harus, belajar Inggris satu jam. Menggambar komik lemon Tea, satu jam. Mencari jodoh bribak bribik kiwo tengen satu jam!" Imbuhku lagi.

Mas Bejita ngangguk-ngangguk. Sepertinya ia paham, atau malah ngantuk, entahlah aku enggak tahu.

"Terus?" Tanya Mas Jekek, yang dari tadi ikut nimbrung berbincang dengan kami.

"Jika aku melakukan semua itu secara rutin dan disiplin..."

"...sudah dapat dipastikan tahun depan aku sudah punya komik baru siap terbit dan skill berbahasa Inggris yang mumpuni!" Kataku penuh harap.

"Dan Alhamdulillah, sudah hari ketiga di tahun 2020 kebiasaan-kebiasaan itu terlaksana satu demi satu!" Aku berbicara dengan sangat bangga.

Semua terdiam. Bahkan, penjual angkringan itupun ikutan hening. Woow! Aku bisa melihat tatapan kagum mereka. Namun, bukan Mujix namanya jika tidak ada plot twist dalam setiap perbincangan yang serius nan filosfis ini.

"Tapi sayang..." keluhku sambil menghela nafas panjang.

"Yang belum bisa berjalan satu kalipun kebiasaan 'Mencari jodoh bribak bribik kiwo tengen satu jam!', Mas!" Aku sengaja berkata pelan dan lambat.

"Lha ngopo!?" Tanya Mas Bejita lagi.

"Lha piye carane 'bribak bribik kiwo tengen'..." kataku sambil berteriak parau.

"...yen kontak WA isine lanangan Thok!!" Tawa langsung meledak saat itu juga secara tiba-tiba. Benar-benar pagi yang sangat gembira.

Mujix
Sudah 2020, angka yang cantik untuk sebuah perhalatan bernama 'nikah'.
Sukoharjo, 3 Januari 2020