megamendungkelabu

Sabtu, 06 Januari 2018

Kisah 2 temanku

Aku punya komik berjudul 'Proposal Untuk Presiden'. Dan di suatu ketika, komik itu bertemu dua kawanku.

Kawan pertama bernama Sam, seorang mahasiswa bule ganteng dari 'Negara Sebelah' yang tengah loka karya di kampungku. Ketika ia mengetahui bahwa aku seorang komikus dan mempunyai karya, dengan serta merta Sam menyodorkan uang Rp.100.000 sambil berkata:

"Aku membeli komikmu!"

Aku bahagia. Bisa dipakai buat nyicil beli mas kawin buat nikahan, nih. Dan ketika aku akan menyerahkan uang Rp. 65.000 sebagai kembalian, ia malah tertawa dan berkata:

"Simpan saja kembaliannya buat kamu, belikan sesuatu yang bisa kau gunakan untuk menggambar."

Aku makin bahagia. Hidungku langsung kembang kempis. Kayak tanaman Kantong Semar yang nemu lalat.

Kawanku yang kedua bernama, yah, sebut saja ia 'bunga', walaupun ia seorang laki-laki berkumis dan punya jakun. Dia adalah seorang kawan saat belajar bersama waktu di SMK kejuruan seni rupa. Ketika ia mengetahui bahwa teman sekelasnya (yang cakep ini) menjadi seorang komikus dan mempunyai karya, dengan serta merta Mas Bunga berkata:

"Wah, kamu bikin komik baru!? Minta satu dong!"

Asyik! Biaya mas kawin buat nikah makin terkumpul, nih!? Langsung aku samber dengan kalap:

"Ohh boleh! Satu buku harganya Rp.35.000! Nanti aku kasih bonus kartun unyu versi wajahmu!"

Ia kemudian tertawa sambil berkata:
"Alaaaah masa sama teman gitu!? Gratiss dooong!!".

Dan aku terdiam sejenak, kemudian dengan cara sehalus mungkin sambil cengengesan.

"Wah Sorry, Bro. Ini dagangan. Enggak aku gratisin. Maaf ya!?"

Aku menolak permintaannya.
Barter? Bolehlah! Syarat dan ketentuan berlaku. Gratis? Tidak.
 
Mas Bunga tertawa sambil mencibir jika aku bukan orang yang setia kawan. Seketika penilaianku terhadap dia terjun bebas. Wuuuuushhh.

Hingga detik ini, temanku yang bernama Bunga itu (sepertinya) belum membeli komik 'Proposal Untuk Presiden'. Aku tersenyum kecut, namun tidak terlalu merasa kecewa.

Saat itu aku akhirnya sedikit memahami mengapa penduduk 'Negara Sebelah' bisa memiliki tingkat kemakmuran yang lebih tinggi jika dibandingkan penduduk 'Negeri Yang Aku Tinggali'.

***

Okey. Harusnya postingan ini dengan 'kalimat nyinyir' di paragraf tersebut.  Namun rasanya kurang adil jika hanya bisa 'mengeluh nyinyir' tanpa menawarkan sebuah solusi.

Jika hanya 'mengumpat', semua ilmu yang pernah aku pelajari apa gunanya? Guna ilmu adalah menjaga lisan dan tindakan agar terhindar dari perbuatan yang penuh kesia-siaan.

Lalu, solusinya apa? Buanyak sih. Namun  untuk kasus ini, jenis penyelesaian yang tepat dan tidak terlalu muluk-muluk adalah makan 'Indomie rebus pakai telor setengah matang' sambil memahami pentingnya mengedukasi mengenai profesi.

Indomie rebus pakai telor setengah matang adalah kebahagiaan yang hakiki.

Kembali ke laptop, aku tahu, adalah 'kesalahan besar' jika membandingkan kualitas diri kedua temanku itu lalu menggeneralisirnya ke sebuah 'pernyataan absolut' citra negara berdasarkan opini semata. Gak boleh dan gak baik.

Para sahabatku yang baik hatinya (kalau sedang banyak uang). Sikap mental gratisan dari temanku, Mas Bunga, akan terus awet dan menjamur di masyarakat jika tidak dilakukan penangkalan. Dan penangkalan yang aku bicarakan di sini adalah pentingnya edukasi profesi.

Bagaimana caranya? Teorinya cukup sederhana, namun agak sedikit rumit dalam prakteknya, seperti memahami kamu, dan hei!? Bukankah sejak dahulu begitulah sifat ilmu!?

Edukasi profesi level paling bontot adalah mengenalkan profesi yang kalian tekuni ke masyarakat!

Beberapa tahun yang lalu jika ditanyai mengenai profesi, aku bakal ngomong bahwa aku seorang:

1. Pengangguran: jika sedang bercanda dengan kawan lama.

2. Tukang gambar: jika sedang berbicara dengan 'orang awam'.

Tidak sepenuhnya benar dan tidak sepenuhnya salah. Aku merasa kalau saat itu aku belum berani (dan belum merasa pantas) menyandang predikat agung bernama 'komikus'.

Orang yang layak dilabeli komikus itu harusnya mempunyai karya fenomenal.

Komikus itu harus seperti Akira Toriyama!
Komikus itu harus seperti Herge!
Komikus itu harus seperti R.A Kosasih!

Mujix!? Komikus yang komiknya masih 'coming soon' dan selalu 'WIP' itu? Pfftt. Tak ngguyu sik, Bro!

Setidaknya seperti itu pendapatku beberapa tahun yang lalu. Tahun dimana komik 'Proposal Untuk Presiden' masih berada di alam bawah sadar.

Beberapa tahun belakangan aku mencoba lebih terbuka. Apalagi setelah satu demi satu karya komikku jadi dan diapreasiasi banyak orang.

Definisi komikus sepertinya menjadi agak sederhana bagiku saat ini.

Komikus adalah orang yang membuat komik. Titik.

Komikus profesional adalah orang yang membuat komik dan dibayar atas komik yang ia buat. Titik.

Berdasarkan pemahaman itulah aku mulai 'mengedukasi' orang-orang yang 'kepo' dan suka nanya "pekerjaanmu apa?", "bikin komik emang bisa dapat duit?"dan "mengapa 'why' selalu 'always', tetapi 'but' tidak pernah 'never'?"

Banyak bacot! Langsung aku tempel jidatnya pake buku komikku yang udah terbit di toko buku, Sambil berpidato!
Bla... bla... bla...

Jadi, jika suatu saat ada yang bertanya mengenai apa profesimu, jelaskanlah dengan sabar. Jawab satu persatu dan buat sang penanya mengerti.

Kan ribet dan capek?

Jadi, Kata "career" dimulai dari kata "care" mungkin memberi pesan bahwa: kalau mau punya karir yang bagus, kamu harus peduli sama pekerjaanmu. Kalimat ini aku dapat dari akun twitter @handokotjung. Aku enggak tau dia siapa. Tweetnya keren dan numpang lewat di linimasaku.

Salah satu cara peduli dengan profesimu adalah mengenalkan apa yang kamu kerjakan ke khalayak ramai. Ke keluargamu. Ke gebetanmu. Ke calon mertuamu.

Ya itulah yang dinamakan dedikasi terhadap profesi.

Aku pernah mencoba menjelaskan profesi komikus kepada seorang ibu-ibu paruh baya yang mengira suatu pekerjaan dinamakan profesi jika ia 'memakai seragam dan berangkat pagi pulang sore'.

Lhah apaan!? Seragam yang aku pakai  saat nggambar komik malah mirip 'orang yang mau panen ikan lele di tambak' daripada pegawai kantoran. Suweer!

Aku ingat seberapa ribet memberi pencerahan kepada nenek mengenai sistematika mengirim komik melalui email, dan bagaimana komik yang aku kirim melalui email tersebut menjadi buku.

Tiga tahun lalu, jika orang awam bertanya tentang teknis dan mekanisme pekerjaan komikus, aku akan pura-pura galau lalu curhat tentang mbak gebetan.

Perlahan tapi pasti aku sadar jika sikap tersebut tidak baik. Akhirnya aku mencoba untuk lebih jujur dan terbuka.

Untuk Ibu-ibu paruh baya, aku menganalogikan komikus seperti 'dalang wayang kulit'. Untuk nenek, aku menganalogikan email seperti Pak Pos yang mengirim surat.

Satu hal yang penting. Sesuaikan penjelasan mengenai profesi kalian dengan tingkat pendidikan sang penanya.
Jika kamu tidak bisa menjelaskan secara sederhana, maka kamu belum mengerti sepenuhnya,  Pemikiran Albert Einstein.

Ingat baik-baik. Jika bisa dibuat sederhana jangan dibuat rumit. Kalian bukan politikus yang harus terlihat 'keren' di depan media massa.  Make it simple!

***
Jadi jika ada yang tanya apa pekerjaanmu, jawab saja dengan lantang!

"Aku seorang komikus!!"
"Aku seorang creative planner!!"
"Aku seorang Fiverr Member!!"
"Aku seorang lelaki yang tengah sendiri dan sedang mencari calon istri!!"

Apapun, umat manusia!!! Sampaikan dengan lantang!!

***

Dan hore. Mereka sedikitnya mengerti apa yang tengah aku kerjakan.

Percaya atau tidak, usahaku dalam memberi penjelasan banyak orang ternyata membuahkan hasil. Sekarang aku lebih sering mendengar kalimat :

"Kapan lounching komik baru? Aku mau beli?".

Atau sapaan saat nyari kopi di warung:

"Tumben jam segini keluar rumah? Ndak kerja bikin komik, Mas?"

Dan, aku sangat yakin tidak semua orang Indonesia seperti Mas Bunga. Ketika semua orang saling menghargai dan memahami suatu profesi, bukan tidak mungkin 'Negari Yang Aku Tinggali' ini akan semakmur 'Negera Sebelah'. Iya kan? Tentu saja dong! *salim

Mujix
Ambil nafas panjang dan segera
menggambar lagi.
Bogor, 26 Maret 2018.