megamendungkelabu

Jumat, 26 Agustus 2016

Ranting Kopi

Kesepian itu pekat seperti kopi hitam yang kuseduh tadi sore. Pahit? Tentu saja. Namun bisa membuatku terjaga sampai malam membuka mata. Terus aku minum. Terus aku kulum.

Kesepian itu rapuh seperti ranting kering yang nyaris kuinjak tadi pagi. Sepele? Tentu saja. Namun jika dikumpulkan dan bertemu api, ranting itu bisa membakar semuanya tanpa sisa.

Kecuali kesepian, tentu saja.
Hanya itu yang tidak bisa dibakar oleh api dan dilarutkan oleh kopi.

Mujix
Habis nonton film 'Secret Life of Pet'. Menghibur. Cuman kacamata 3D-nya useless abis.
Kerten, 25 Agustus 2016

Senin, 22 Agustus 2016

Tersesat dan Tenggelam

Aku sedang tersesat di hutan. Berjalan kemari mencari tujuan. Tak kutemukan, tak kudapatkan.

Aku sedang tenggelam di lautan. Berenang kesana mencari sampan. Tak kutemukan, tak kudapatkan.

Maaf Tuhan, karena aku sedang tersesat dan tenggelam, tunggulah sebentar lagi.

Mujix
Komputerku masih error.
Dan belum kembali ke rutinitas.
Simo, 22 Agustus 2016.

Minggu, 21 Agustus 2016

Ada Samudra

Ada samudra yang bergejolak di dalam dada. Petir dan guntur menyambar memekakkan telinga. Kukira badai, kukira akhir dunia.

Ada gunung yang meletus di dalam kepala. Tanah dan batu berjatuhan menghancurkan rupa. Tanpa sisa untuk dibagikan tetangga.

Tangan itu mengepal meninju langit. Namun hujan tetap tak mau turun.
Kaki itu mengeras menendang bumi.
Namun matahari masih acuh.

Jangan bertanya bagaimana. Namun bertanyalah mengapa.
Jangan bertanya siapa.
Namun bertanyalah apa.

Ada samudra yang bergejolak di dalam dada. Petir dan guntur menyambar memekakkan telinga. Kukira badai, kukira akhir dunia.

Mujix
Kata-kata favorit akhir-akhir ini.
'Terserah'!
Simo, 21 Agustus 2016

Rabu, 17 Agustus 2016

Penerbangan Yang Gagal

"Perhatian penumpang Laiyon Air untuk segera kembali ke tempat duduk dan mengenakan sabuk pengaman anda di karenakan cuaca kurang baik untuk penerbangan. Atas perhatiannya kami ucapkan terimakasih."

Aku bergidik ngeri saat mendengar pengumuman itu. Cuaca kurang bersahabat!? Jangan bercanda! Sekejap saja sholat asharku kacau. Entah ruku, sujud atau tahiyat semuanya sama saja.

Ternyata beribadah dengan khusuk di pesawat terbang di ketinggian entah berapa ribu kaki itu sangat mustahil untuk seorang komikus berambut kribo seperti aku.

Sholatku buyar, aku memandang ke arah luar jendela pesawat. Terlihat awan bergumpal bagai gula kapas. Sebagian berwarna putih, sebagian berwarna abu-abu.

Hal yang paling menyita perhatianku saat ini adalah sayap pesawat. Benda itu terlihat sangat rapuh, beneran, bergetar-getar dan berbunyi mendencit mengerikan. Di saat dramatis itu aku tiba-tiba mendapat satu pencerahan.

Mungkin sholatku kali ini adalah sholat gagal dan tidak sempurna.

Namun sholatku kali adalah sholat dimana aku benar-benar dekat dengan Tuhan, Allah, Dewa, atau apapun kalian menyebutnya.

"Hfffffttt...." aku mengambil nafas panjang dan menata sholat tersebut dengan seksama. Entah ibadah itu gagal atau cacat aku tidak perduli.

Aku melanjutkannya dengan perlahan, sambil sesekali melirik ke luar jendela. Kacau. Aku mencoba menenangkan diri dengan sebuah nasihat dari Pak Iyok.

"Numpak pesawat kui sing iso mbok lakoni mung siji. Pasrah."

Petuah nan bijak itu aku terima beberapa minggu yang lalu sesaat sebelum pergi ke Jakarta menaiki pesawat terbang.

Bepergian dengan benda logam yang melayang di atas cakrawala itu sesuatu yang baru untukku. Sangat baru malah. Untuk sesuatu yang baru dan belum pernah kujamah, mempelajari seluk beluk mengenai teknis adalah wajib. Nah, makanya deh sebelum berangkat aku banyak googling  dan curhat.

Salah satu curhatnya adalah dengan Pak Iyok. Veteran aktivis komik yang sudah berkali-kali naik pesawat terbang.

"Pak, nek ono 'opo-opo' pas numpak pesawat kudu piye? Padahal posisi wis neng angkoso kono."

Pak Iyok memandangku dengan datar sambil berkata satu kalimat pamungkas.

"Yo wis noh" ucapnya yang kemudian dilanjutkan dengan obrolan tentang 'pasrah'. Mau bagaimana lagi, sepertinya memang itu solusi untuk menghadapi apapun situasi tersebut.

Kecuali kamu seorang Superman atau One Punch Man. Hahaha

Pesawat yang aku tumpangi masih berada di awang-awang. Sholatku juga sudah sampai pada gerakan salam.

Semuanya serba dramatis. Aku menengok dua pramugari yang duduk di sampingku. Mereka masih mengenakan sabuk pengaman. Mataku melirik raut wajah pramugari itu.

Tak terlihat wajah panik ataupun takut. Mereka sepertinya sudah terbiasa dengan situasi seperti ini. Dan yang paling penting....

Dua pramugari ini lebih cantik dibandingkan pramugari sebelumnya saat aku berangkat. Astagfirullah. Sepertinya darah kelaki-lakianku tidak memikirkan situasi genting tersebut. Susunan DNA dan molekul di dalam tubuhku berteriak dengan lantang bahwa keadaan tidak seburuk itu.

"Mau mati kek! Mau pesawat meledak kek! Terserah!!" guman sesuatu nun jauh di dalam pikiranku.

Iya juga ya, mati hidup seseorang siapa yang tahu.

Akhirnya aku mencoba menikmati sisa penerbangan dengan perasaan yang sedikit lebih baik.

Pats. Lampu tanda 'mengenakan sabuk pengaman' sudah padam. Sepertinya daerah dengan cuaca yang kurang baik telah terlewati. Mbak-mbak pramugari juga beranjak dari kursinya sambil mencium pipiku.
Euhh... Sepertinya aku mulai berhalusinasi, acuhkan saja mulut besarku.

Aku memandang ke luar jendela. Di hadapanku terbentang pemandangan yang menakjubkan. Ada hamparan kotak-kotak kecil tertata secara acak. Ya, kotak-kotak kecil itu adalah pemukiman serta gedung-gedung megah yang kamu temui setiap hari.

Bentuknya beragam. Semua bangunan itu terlihat sangat kecil dan terlihat rumit. Sesekali terlihat sebuah garis panjang berwarna coklat membelah daratan.

"Itu pasti jalan tol yang sedang dibangun" begitu pikirku.

Kalau diperhatikan lebih seksama, nampak kumpulan butiran kecil bergerak pelan. Aku yakin benda-benda itu kendaraan yang tengah melintas di jalan raya. Wuiiiih. Bisa lucu gitu ya.

Semuanya ter-komposisi se-dekemikian rupa hingga membuatku berdecak kagum. Apalagi ketika sesekali matahari sore mengradasi semua pemandangan berwarna jingga yang lembut. Nikmat apa lagi yang kamu dustakan, Jix!!!

Gila, enggak menyangka gara-gara komik aku bisa naik pesawat dan melihat pemandangan seindah ini. Aku melupakan semua rasa takut dan resah. Entah sejak kapan hatiku mendadak penuh haru. Semua kenangan menyeruak tanpa permisi. Baik, buruk, semua bercampur aduk.

Jika kali ini aku masih hidup, aku ingin hidup dengan lebih baik.

Aku teringat kedua orang tuaku di Bogor. Aku yakin kedatanganku beberapa hari di sana, membuat mereka bahagia. Namun itu belum cukup.

Jika aku masih dibiarkan hidup oleh Tuhan, Allah, Dewa atau apapun kalian menyebutnya, aku ingin bisa lebih... Lebih... Lebih membuat mereka bahagia.

Beneran, Jika kali ini aku masih hidup, aku ingin hidup dengan lebih baik. Aku berjanji dengan sepenuh hati.

Mujix
Dan postingan ini diketik sesaat setelah turun dari pesawat dan dilanjutkan di rumah saat perasaanku sedang sangat baik.
Simo, 30 Agustus 2016

Sabtu, 13 Agustus 2016

Farewell Messages

Hey kamu, Thanks ya udah hadir di kehidupanku yang besar ini. Move on dari kamu itu susaaah banget. Tapi aku yakin tidak ada yang kebetulan dalam ikatan takdir.

Semoga kedepannya kita menemukan kebahagiaan masing-masing. Bye. Hihihi

Mujix
Orang yang selalu memanggil namamu dan berteriak tak tahu waktu.
Bogor, 13 Agustus 2016

Cerita Senja

Melihat banyak manusia yang berlalu lalang dengan mata sedikit minus saat petang itu membuatku pusing. Dari peristiwa kali ini aku mempelajari beberapa hal:

Jujur itu penting. Sesulit apapun keadaanmu. Jangan pernah menggampangkan sesuatu hal. Prasangka yang gegabah bisa merusak kebahagiaan kecil di masa depan.

Oh iya, satu lagi. Andaikata melirik cewek cantik jangan lama-lama, takut naksir atau ditaksir.

Semoga semuanya baik-baik saja. Soalnya aku belum menemukan apa yang aku cari dan apa yang membuatku bahagia. Maaf.

Mujix
Sedang menikmati suasana setelah hujan di kementrian entah apa namanya aku lupa. Berdoa lagi
Ahh agar semua baik-baik saja. Amiien. Jangan lupa mawas diri.
Jakarta, 8 Agustus 2016

Minggu, 07 Agustus 2016

Mati

Mati. Beberapa orang baik yang aku kenal telah mati, atau bahasa sopannya 'meninggal'. Tapi aku lebih suka menyebutnya dengan kata 'mati'.

Lebih dramatis dan lebih meninggalkan kesan yang mendalam.

Di blog ini berulang kali aku membuat tulisan yang bertema kematian. Berulang kali berwacana dan berakhir dengan omong kosong semata. Mau bagaimana lagi, aku tidak mengetahui banyak info tentang hal-hal yang berkaitan dengan 'dunia misterius' tersebut.

Rasanya menakutkan. Semacam pergi ke suatu tempat yang belum pernah kau datangi. Terlalu banyak kekhawatiran.

Kekhawatiran akan pergi ke suatu tempat yang asing juga kurasakan akhir-akhir ini. Pekan depan, tepatnya hari minggu tanggal 7 Agustus 2016 aku harus berangkat ke Jakarta. Ngapain ke sana? Mencari kebahagiaan, tentu saja.

Hahaha, 'mencari kebahagiaan'!? Epic sekali. Jadi ginih, karya komikku yang berjudul ' Si Amed dan Bahaya Buang Air Besar Sembarangan' menyabet juara keempat di lomba komik sanitasi 2016.

Iya juara keempat.
Padahal kukira bisa juara pertama.
Soalnya berhadiah sepuluh juta.
Kalo menang kan udah gak usah pusing mikirin biaya nikah. Emang mau nikah sama siapa?

Anu...
Ah intinya aku harus ke Jakarta pada tanggal tersebut untuk penyerahan hadiah.

Senang? Tentu saja.
Pusing? Tentu saja. Tabunganku ludes buat beli tiket pesawat.

Dan sekarang aku udah sampai Jakarta. Sedang bengong di warteg DJ depan Akademi Samali. Masih memikirkan kematian? Tentu saja.

Kematian bisa datang kapan saja. Tak tentu waktu bisa terjadi dimanapun. Hampir setiap hari aku mengingat hal tersebut. Kadang sadar, kadang cuek bebek. Ah, namanya juga hidup.

Ini adalah sebuah pengakuan, pengakuan yang konyol, aku sempat berpikir mati saat naik pesawat dalam rangka memenangi lomba komik adalah suatu kematian yang keren. Walaupun juara harapan, keren ya tetap keren.

Beberapa hari setelah memesan tiket, pikiranku memang terjun bebas dengan imajinasi yang paling buruk (dan paling baik, tentu saja).

Pesawat menabrak gunung!
Pesawat nyemplung laut!
Pesawat dibajak teroris!
Pesawat meledak entah karena apa!
Dan lain sebagainya, intinya berakhir mati begitu saja.

Nyatanya, beberapa orang yang aku kenal mati dengan cara yang lebih manusiawi.

Dek Vinda meninggal karena kangker. Mas Reza meninggal terseret ombak saat bermain di pantai. Bang E'ed meninggal karena sakit paru-paru. Dan lain sebagainya.

Tidak ada yang mati disandra teroris saat naik kapal selam!

Mereka meninggalkan pesan tentang kematian dengan sangat lugas, mati bisa datang kapanpun.

Dan bisa datang tanpa disangka-sangka.

Beberapa minggu yang lalu, aku menemukan analogi yang tepat untuk menggambarkan kematian.

Kematian itu seperti perjalanan dari tempat kerja menuju rumah dengan mengendarai sepeda motor.

Kematian itu rumah yang sangat kalian rindukan untuk segera beristirahat.

Mujix
Harus segera beristirahat.
Capek seharian muter-muter naik busway.
Jakarta, 7 Agustus 2016

Naik Pesawat

Pencapaian terkerenku kali ini adalah bisa naik pesawat terbang karena menang lomba komik. Rasanya sangat menyenangkan memiliki pengalaman baru ini. Kesan yang bisa aku katakan tentang naik pesawat hanya ada dua kata.

Mendebarkan dan menakjubkan.

Perasaan berdebar dipersembahkan oleh berbagai peristiwa kecelakaan yang diberitakan oleh berbagai media. Ngeri juga membayangkan benda besi sebesar itu bisa terbang ke langit. Aku jadi ingin mempelajari teori gravitasi dan massa benda lagi.

Sensasi saat pesawat berbelok sangat dirasakan oleh tubuh. Berasa ngambang dan sedikit membuat telinga berdenging. Apalagi dengan pemandangan langit biru tiada batas di luar jendela. Keren.

Gumpalan awan putih yang menggunung bagai gula-gula kapas tak henti-hentinya membuatku kagum. Kalo bisa sih aku pengen melompat dan mendarat di awan yang kayaknya empuk itu.

Iya, kayaknya sih empuk. Tapi nyatanya gumpalan awan itu tidak seempuk yang aku kira. Ada saat dimana pesawat yang aku tumpangi, Lion Air, iya yang harganya murah dan katanya raja delay itu, menerobos awan dengan gagah berani.

Daripada disebut mirip kapas, awan dan mega-mega berarak yang sering aku kagumi dari bawah itu lebih mirip kabut. Bisa ditembus begitu saja meninggalkan getaran-getaran yang membuatku memikirkan apa hakikat manusia hidup di dunia. Njiiiirrrrr!!!!

Perjalanan dari Solo ke Jakarta ditempuh kurang lebih satu jam. Agar tidak telat aku harus berangkat dari rumahku di Boyolali pukul empat pagi. Berdua dengan kakakku, Mas Jack, jalanan sepi Solo Simo, kami terobos sembari bercerita banyak hal.

Dari banyak hal yang terlontar, yang paling aku ingat adalah obrolan tentang kematian. Selama seorang manusia bisa atau telah meninggalkan sesuatu yang bermanfaat untuk orang lain, kematian bukanlah sesuatu yang buruk. Dan selama di dalam pesawat di ketinggian entah berapa ribu meter di atas sana, aku memikirkan hal-hal itu berulang kali.

Apakah aku puas dengan hidupku?

Apakah hidupku sudah bermanfaat untuk orang lain?

Dan yang paling penting, mengapa aku masih berada di dunia yang serba berisik ini?

Mujix
Siapa bilang semua pramugari itu cantik? Yang tadi malah tembem dan ghinuk-ghinuk :p
Jakarta, 7 Agustus 2016

Senin, 01 Agustus 2016

Hujan

Hujan turun lagi
Jatuh membasahi pipi
Menenggelamkan ego di hati
Sendu sedan seperti bernyanyi

Awan kelabu di atas kepalaku
Memeluk cinta yang tengah pilu
Karena masa berlalu bagai lagu
Senandung rindu di ujung waktu

Jangan bertanya soal sang surya
Karena dia pergi entah dimana
Membiarkan manusia meratapi duka
Namun sayang hanya menggumpal di dada saja

Hujan telah pergi
Air mengalir membawa mimpi
Menuju esok yang tentu tak sama dengan hari ini

Mujix
Aku enggak nyangka kalo
video klipnya Band Armada
sangat emosional.
Simo 1 Agustus 2016

Sempak

'Sempak' adalah istilah untuk menyebut celana dalam seorang laki-laki. Baru-baru ini seorang kawanku suka menggunakan kata 'sempak' tersebut untuk mengumpat. Ketika kutanya mengapa, dia menjawab.

" Lebih sopan daripada 'asu' dan lebih mantap karena ada huruh 'a' yang panjang'

Pikirku, perasaan semua kata umpatan memiliki  huruf vokal yang panjang. Kata umpatan 'sempak' nan mantap itu terdengar beberapa hari yang lalu. Saat dia sedang galau gara-gara urusan dinas yang mengharuskannya membeli tiket kereta api.

Kira-kira umpatannya seperti ini.
"SYEEMPAAAAAAKKK!!!"
Temanku berteriak sambil melemparkan tubuhnya ke kursi.

'Piye...piye...piye...?" tanyaku dengan tampang datar.

"Aku mau beli tiket tapi duit mepet! Nek ngene carane aku kudu piye maneh!?"  dia mengeluh sambil memegang kepala.

"Turu wae!"
Kataku acuh tak acuh sambil menjawab balasan chat di handphone.

"NDASE! Acara iki penting yo nggo aku!  Akhirnya semua pencapaianku diakui oleh publik" ujarnya sembari mematikan netbook.

"Lha piye maneh? Aku yo ora duwe duit! Hahaha" aku menjawab sambil tertawa untuk mencairkan suasana.

Suasana hening sejenak. Aku paham betul apa yang dia rasakan. Rasa kecewa karena sesuatu yang tidak sesuai ekspektasi itu menyakitkan. Dan untuk beberapa orang, kejadian 'Kampret' itu terkadang terjadi berulang kali tanpa permisi.

"Aku mumet Jix, aku wis bingung kudu piye maneh. Sempak tenan kok!!"  ucapnya sambil menyembunyikan muka yang perlahan-lahan makin kusut.

Terkadang ada keadaan yang tidak bisa diubah. Berjuang sampai mampus-pun belum semuanya akan beres.  Tiba-tiba waktu telah berlalu. Tak mau berkompromi.

"Kui Lelakonmu, Coy! Nek iso nglewati koe bakal mundak level."  ujarku pelan. Aku sudah tidak tahu harus menasihati apa lagi.

Level yang mana? Entah. Aku sendiri juga hampir lupa. Terkadang hidup itu tidak melulu sebagaimana keras kita berjuang. Terkadang ada secuil 'pil pahit' kekalahan yang harus kecap agar suatu hari bisa merasakan 'permen manis' kehidupan.

Permen manis yang disembunyikan Sang Maha Pembuat Kisah yang membuat temanku mengumpat kata 'Sempak'.

Mujix
semua akar permasalahan adalah rasa lapar. Namun kabar baiknya,
Akar permasalahan dewasa ini bukan hanya rasa lapar, namun juga ego yang minta diisi oleh apresiasi.
SEMPAAAAAKKK!!!
Simo, 1 Agustus 2016