megamendungkelabu

Sabtu, 19 September 2015

Bertahan di sana

Aku selalu mengalami kesulitan setiap kali membuat postingan baru di blog ini. Yah, semacam perasaan enggan untuk menceritakan hal-hal yang terjadi di sekitarku. Beberapa permasalahan memang tak harus diceritakan. Beberapa permasalahan memang terkadang harus selesai tanpa harus dicatat. Hanya saja, 'perasaan enggan' itu akhir-akhir ini menjadi candu untuk memaksaku malas meng-up date blog ini. Alasan 'sibuk' dan 'tidak punya alat' sudah tidak pantas untuk disematkan padaku. Aku udah punya komputer. Aku udah punya waktu yang cukup luang. dan satu hal yang pasti aku sudah memiliki koneksi internet yang tidak terbatas. Apa lagi yang kurang?

Satu hal yang kurang, satu hal namun sangat vital.
Satu hal itu bernama 'alasan'.

Semenjak aku memutuskan move on tahun 2012 lalu, aku hanya bersandar dipundak para 'alasan' sementara yang rapuh. Alasan-alasan sementara itu gugur satu persatu ketika tujuan demi tujuan telah terpenuhi. Sudah terpenuhi, dan seyogyanya aku harus menemukan alasan baru.

Beberapa minggu lagi aku akan berusia 27 tahun. Sebuah usia yang mengingatkanku akan seorang Kurt Cobain, Sid Vicious, dan John Lennon.

Perjalanan untuk menemukan alasan baru terbilang cukup rumit.
Beberapa kali aku harus tersesat di belantara logika.
Berhenti melangkah dan memastikan jalan yang telah aku ambil.
Tak jarang aku berjalan kembali ke belakang untuk sekedar memeluk diri sendiri yang tengah bersedih.

Pasti ada alasan kenapa aku masih berada di bumi yang besar ini.

Aku teringat dengan seseorang kawan yang bernama sama denganku.
Dia telah meninggal belum lama. Nama yang sama namun usia yang berbeda. Kenyataan tersebut membuatku untuk segera bergegas. Berakhirnya kehidupan tidak ada yang tahu.

Aku saat ini hanya tahu satu hal, Aku harus bertahan dengan semua semesta di sekitarku, mencoba bertahan dan melakukan yang terbaik. Terimakasih untuk Jesus Crist, Mark Zuckerberg, Bakuman, Sanasuke dan Kakak yang menasihatiku dengan sangat Awesome di bulan September ini. Aku berjanji untuk hidup sehidup-hidupnya mulai detik ini. Urip kui kudu urup.

Mujix
Seseorang yang sedang
mengalami quarter life crisis,
19 September 2015

Selasa, 01 September 2015

Wisuda Indomie-nya Jacob Shtarkah

“Trek..Trek..Trektetek..”
Aku mengetik sederet angka  pada kolom pencarian nomer resi di sebuah situs pengiriman paket. Tidak muncul apapun. Kok bisa sih? Kenapa tidak muncul status kirimannya ya? Aku meneliti kembali angka yang tertera. 

Aku mengetik ulang angka itu perlahan, seteliti mungkin. Aku baru sadar, ternyata ada kesalahan pada posisi angka ‘6’, angka tersebut tertukar dengan angka ‘9’.

Aku menelitinya sekali lagi. Sudah sesuai.
Kupencet tombol ENTER dengan harap-harap cemas.

“Traaaak!!”
Keyboardku berteriak saat jemari telunjuk ini menindihnya dengan kejam. Terpampanglah sebuah bagan sederhana. Nomer resiku, alamat yang dituju, nama seseorang di sana, dan tentu saja keterangan resmi nasib paket yang aku kirim.

Paket tersebut hanya sekedar ucapan selamat atas terwisudanya perempuan paling fenomenal nomer tiga di kehidupanku (nomer pertama adalah ibuku, nomer kedua adalah nenekku).  

Hei, ternyata paket itu sudah sampai, status delivered tertera di bagan tersebut, penerimanya adalah dia. Suasana di sekitarku tiba-tiba saja sedikit menghangat dengan datangnya kepastian tersebut. 
Aku tersenyum kecil.

Ingatanku melayang kembali  ke sebuah malam sebelum acara wisuda itu terlaksana.

***

Malam ini aku mencoba untuk tidur di waktu lebih awal dari jadwal biasanya. Jam digital di HP menunjukkan angka 20.15 WIB. Aku memandang langit-langit rumahku dengan perasaan gamang. Barisan kayu-kayu berwarna coklat, barisan genteng merah tua dengan sedikit hiasan rumah laba-laba, yang berpadu dengan suasana temaram dan dinginnya malam ini, tak menyurutkan pikiranku untuk sekedar berhenti melompat-lompat ke sana kemari. Pikiranku akhir-akhir ini memang seperti kera sakti yang sedang berkelana mencari kitab suci.

Hei Pikiran, kamu enggak capek mondar-mandir gituh?

Keadaanku setali tiga uang dengan keadaan kecoak yang ditemui Jacob Shtarkah, tokoh fiksi ciptaan Will Eisner di novel grafis Daya Hidup.  Nama kecoak tersebut adalah Izzy. Izzy Si Kecoak jatuh ke gang dari lantai dua. Izzy kemudian bertemu dengan Jacob Shtarkah yang sedang galau gara-gara dipecat sebagai tukang kayu di sebuah  Nedova (tempat beribadah kaum Yahudi).

Sebuah pertemuan yang sudah ditakdirkan.

Kisah tersebut  sebenarnya  tidak  begitu rumit, asalkan Jacob Shtarkah tidak memperbicangkan ‘makna keberadaan’ dengan Izzy Si Kecoak. Makna keberadaan!? Ya ampun. Postingan ini sepertinya menuju arah yang lebih rumit. Keep Reading ya. 

Jacob Shtarkah dan Izzy.
(sumber: cultura.estadao.com.)

Ya benar, Jacob Shtarkah mengeluhkan hidup dan Tuhannya dengan seekor kecoak. Jacob adalah sesosok tukang kayu yang telah mengabdikan hidupnya untuk membangun rumah ibadah selama 5 tahun. Dia harus menghadapi kenyataan bahwa Komite Gedung telah memecatnya, mereka menganggap semua bangunan memang sudah selesai dibuat.Tugasnya sudah selesai. Tidak ada ruang atau bangunan yang harus dibuat lagi. Sudah selesai. Titik. Begitu kira-kira pendapat Benjamin, salah satu anggota Komite Gedung.

Namun tidak bagi Jacob Shtarkah. Bagi dia, lima tahun membangun ruang belajar di nedova bukan hanya sekedar mata pencarian, lebih dari itu. Jacob telah menciptakan sesuatu. Jacob menciptakan keberadaan akan sesuatu, dan jacob tidak bisa menerima keputusan tersebut. Cerita ini mulai bergulir ketika dia bertemu dengan Izzy.

Dari kisah itu aku tahu satu hal, manusia sebenarnya sangat rapuh apabila menemui masalah yang tidak dapat dia selesaikan.

Keadaanku setali tiga uang dengan keadaan kecoak yang ditemui Jacob Shtarkah. Ya, dengan kecoaknya, kecoak yang detik itu menggeliat berusaha untuk bangun karena terjatuh dengan posisi terbalik. Aku juga mengalami keadaan yang serupa, menggeliat dari satu permasalahan ke permasalahan yang lain.

Detailnya sih gini, aku memiliki banyak masalah, masalah paling sederhana seperti ‘kenapa kalau makan Indomie rebus lebih enak beli di wedangan daripada masak sendiri’ hingga masalah yang paling rumit semacam ‘apakah aku harus datang ke acara wisudanya perempuan paling fenomenal nomer tiga di kehidupanku’.

Seperti itu.
Untuk permasalahan soal Indomie, aku sudah menemukan jawabannya. Lebih enak beli Indomie rebus di wedangan, karena aku beli menggunakan uang, pembeli adalah raja, seorang raja tidak perlu memasak Indomie rebus ketika dia lapar. Ketika lapar, bisa mendapatkan Indomie rebus tanpa bersusah-susah memasak itu sangatlah enak. Seenak beli Indomie rebus di wedangan.

Fix. Permasalahan soal Indomie rebus ini sudah kelar.

Permasalahan selanjutnya adalah 'apakah aku harus datang ke acara wisudanya perempuan paling fenomenal nomer tiga di kehidupanku'? nah, ini, persoalan ini aku belum nemu jawabannya.

Cukup rumit. Tidak akan terselesaikan apabila menggunakan rumus segitiga pythagoras . Rumus pythagoras sangat erat kaitannya dengan sisi-sisi yang ada pada sebuah segitiga siku-siku. Nah andaikata permasalahku ini adalah segitiga siku-siku, perempuan paling fenomenal nomer tiga di kehidupanku berada di sisi yang mana nih? Biasanya rumus pythagoras digunakan untuk mengetahui ukuran dari salah satu sisi pada segitiga siku-siku.

Ah... Pusing.
Aku membutuhkan rumus yang lain. Sepertinya rumus ‘makna keberadaan’nya Jacob Shtarkah bisa membantu. Baiklah kira-kira seperti ini.

Apabila memakai sudut pandang konsep makna keberadaannya Jacob Shtarkah, keberadaanku di kehidupannya yang besar mungkin seperti butiran cabe di bumbu Indomie rebus. Andaikata butiran cabe itu hilang, rasa Indomie rebus masih tetep enak. kurang pedas? Ganti cabe yang asli. Kalau mie atau bumbunya yang hilang? Tidak akan ada penggantinya lagi. Yah itunya sih, butiran cabe hanya akan menjadi butiran cabe.

Segitunya? Masak sih seremeh itu?
Aku rasa memang seremeh itu.

Mungkin, pepatah popular pernah bilang, dalamnya lautan masih bisa diukur, tetapi dalamnya perasaan perempuan siapa yang tahu.
Mungkin memang seremeh itu. Atau mungkin enggak juga. Entahlah.

Malam ini aku mencoba untuk tidur di waktu lebih awal dari jadwal biasanya. Jam digital di HP-ku menunjukkan angka 20.45 WIB.

Brengsek.
Aku harus segera mengambil keputusan terhadap permasalahan pelik (namun wagu) ini.

***

“Kucari kamu dalam setiap langkah
Dalam ragu yang membisu…”

Di kepalaku tiba-tiba terdengar suara sendu Mohammad Istiqamah Djamad (sang vokalis Payung Teduh) yang sedang menyanyikan lagu Kucari Kamu. Katanya, band Payung Teduh adalah band yang memiliki karakter musik bernuansa era golden 60’s dengan  balutan keroncong dan jazz. Apa iya sih?  Kayaknya saat bikin lagu, mereka membalut nada dan lirik tersebut dengan perasaan galau deh? Kalau enggak, ngapain di siang hari yang riuh ini pikiranku bisa tersabotase oleh lagunya Payung Teduh?

Lagunya kira-kira seperti ini. Coba deh dengerin.


 

 Kucari Kamu oleh Payung Teduh.
(sumber: youtube.com)

Siang ini benar-benar ramai. Aku melongok prosesi wisuda itu dari balik pagar tembok berwarna kuning kusam. Terlihatlah ratusan manusia tumpah ruah memadati areal Pendopo.

Apakah aku bisa menemukan dia di kerumunan  ratusan manusia ini? Aku menghela nafas panjang, mataku memandang dengan acak mencari dia. Mencari dia yang selalu ada dalam setiap ruang. Terdengar suara gamelan ditabuh dengan tempo cepat. Sepertinya prosesi wisuda itu akan berakhir sebentar lagi.

Prasangka kalian benar. Akhirnya aku memutuskan untuk datang ke acara wisuda tersebut. Setelah curhat kecil tadi malam tekadku sudah bulat. Hei. Di kepalaku tiba-tiba terdengar lagi suara sendu Payung Teduh yang berjudul Kucari Kamu. Lagu itu terus saja bergema mengiringiku dalam misi pencarian ‘perempuan paling fenomenal nomer tiga di kehidupanku’ yang katanya di wisuda hari ini.

“Kucari kamu dalam setiap ruang
Seperti aku yang menunggu kabar dari angin malam…”

***

Malam sebelum wisuda. Jam digital di HP-ku menunjukkan angka 20.46 WIB. Permasalahan pelik (namun wagu) itu belum juga terselesaikan. Aku harus curhat dengan seseorang.

Ciaaat!!
Aku akhirnya khilaf menelepon Mamah Dedeh.

“Ctak..Ctak..Ctak”
Tanganku dengan lincah menekan tombol-tombol penuh angka milik ustadzah paling popular ini.

“Tuuuuut…Tuuuuut…Ckleek”
terdengar suara telepon diangkat.
Aku langsung saja mengutarakan permasalahanku.

“Mah, Mujix mau curhat nih, jadi ginih, menurut Mamah, aku harus datang ke acara wisudanya Si Buyung Upik gak ya?” Si Buyung Upik? Yaelah. Kampret bener milih nama samarannya.

Sepersekian detik kemudian terdengar suara Mamah Dedeh.

“PILIH KUKIS KOKOLA, HALAAAAL!! MAMAH TAU SENDIRIII!!”

“Heh?!” Aku kaget.

“Ma..maksudnya apa nih Mah…?” Aku mencoba menangkap makna dari pesan sarat promosi itu. Apa sih korelasinya Kukis Kokola terhadap kehadiranku di sebuah acara wisuda Si Buyung Upik!?.

“PILIH KUKIS KOKOLA, HALAAAAL!! MAMAH TAU SENDIRIII!!”
“Cklek!! Tuuut!! Tuuut!! Tuuut!”

Telepon dari Mamah Dedeh tiba-tiba terputus.
Meninggalkan aku  yang masih terbengong-bengong karena belum bisa memahami apa yang sedang terjadi. Ah sudahlah, Semoga sehat selalu ya Mah. 

Mamah Dedeh dan Kukis Kokola.
(sumber: youtube.com)

Ada videonya. Tenyata saat itu Mamah Dedeh sedang syuting iklan. Oh, kalian merasa terterror dengan iklan ini!? Jangan gitu ah. Tidak ada rotan, akar pun jadi. Tidak ada Mamah Dedeh, orang lain pun jadi. Baiklah saatnya memilih seseorang yang selayaknya patut untuk aku curhati. Siapa ya? Tanganku memencet tombol kontak dan terus aku pencet kebawah.

“Anang… Agung…Bambang… Hendro…Iyok… Joko…”
Namanya kok cowok semua. Hukumnya makruh dua orang pria  curhat soal perempuan di malam yang seroman ini.
Pencet teruus…

“Mujadi… Nawank… Ngadimin… Om Wanto…” Kok masih cowok sih? 
Ah… Aku mulai sedikit putus asa. Pokoknya Pencet teruus…
Trek. Aku akhirnya menemukan satu nama. 
Perempuan? Tentu saja.
Kali ini aku tidak menelepon. 
Hanya mengirim pesan singkat.

‘Curhat. Seseorang yang selalu membuatku hampir ‘gila’ bakal diwisuda Sabtu ini.  Menurutmu apakah aku harus datang? Kenapa?”

Beberapa saat kemudian balasan itu datang. Apapun jawabannya, akan aku terima dengan lapang dada. Selapang dadanya Duta Sheila On 7. Bukankah aku sudah pernah bilang, manusia sebenarnya sangat rapuh apabila menemui masalah yang tidak dapat dia selesaikan. Terkadang suatu hal yang aku kira rumit, namun bagi orang lain, hal tersebut sebenarnya sangat sederhana.

‘Datang ajaa Momen sekali seumur hidup :p’  
Tuh kan. Jawabannya sesimpel itu. Pake emoticon orang melet lagi. Aku bergidik ngeri membayangkan temanku itu mengirim sms sambil melet. Hihihihi.
Aku berpikir sejenak. mengetik balasan pesan singkat itu sambil senyum-senyum.

‘Datang dan memandang dia dari kejauhan, tanpa menyapa kemudian pulang seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Gituh?’

‘Ctak’ pesan itu terkirim.
Datang dan memandang dia dari kejauhan?
Tunggu sebentar, Sejak kapan aku jadi sepengecut  itu.

Beberapa menit berlalu.
Pesan singkatku belum mendapat respon apapun.  
Malam sebelum wisuda. Jam digital di HP-ku menunjukkan angka 21.46 WIB. 
Akhirnya aku sedikit memahami perasaan Jacob Shtarkah yang sedang galau gara-gara dipecat sebagai tukang kayu.

***

Pendopo ISI Surakarta. 
Setahun yang lalu, aku juga diwisuda di tempat dan waktu yang sama. 
Aku tidak menyangka kalau keadaan di luar tempat wisuda juga ramai dan penuh hingar bingar orang yang mencari uang. Ada yang jual bakso bakar, Es Dawet, pengemis juga ada, pengemis cinta, terus ada yang motret-motret, pokoknya banyak sekali.

Di depanku ada beberapa pria yang menjual cinderamata wisuda. Cinderamata itu berupa boneka-boneka lucu yang didandani memakai toga, ceritanya sedang jadi sarjana gitu. Ada boneka Tedy Bear dan Doraemon. Aku hanya mengingat dua boneka itu. Aku enggak habis pikir, Doraemon sama Tedy Bear kuliah ambil berapa SKS ya?

Di samping penjual boneka ada mbak-mbak penjual bunga. Bunga yang dijual sangat beraneka ragam. Ada bunga mawar, bunga anggrek, dan beberapa bunga plastik. Namun sayang, sepertinya mbak-mbak itu tidak menjual Bunga Citra Lestari.
Apa? Enggak lucu? Biarin.

Kerumunan manusia itu mulai memadati pintu gerbang pendopo di sebelah barat. Aku juga tidak mau ketinggalan. Panasnya matahari tak menyurutkan langkahku untuk mencari dia. Sesekali aku mengelap keringat yang mengucur di pelipis menggunakan lengan jaket. Sepertinya semua barang di rangsel ini membuat segalanya makin buruk.

Ah. Siapa suruh sih bawa kamera segala. Komplit sama tasnya lagi. Bego. Selain kamera, di dalam tas rangselku ini terdapat  clipholder yang berisi puluhan kertas gambar, sabun mandi, sikat gigi, dan beberapa buku komik. Dari kejauhan, aku yang sebenarnya cukup ganteng ini terlihat seperti Guru Jin Kura-kura-nya di film Dragon Ball.

Jin Kura-kura
(sumber: twitter.com/honnesia)

Aku memasuki gerbang pendopo.
Jreeeng… Jreeeeng….Jreeeeeng…
Ratusan manusia bergerak random membuat mataku berkunang-kunang. Ada yang sedang berfoto ria dengan temannya, ada yang sedang bersalaman dengan koleganya, ada yang cuman mondar-mondir kaya setrikaaan, dan sisanya melakukan aktivitas layaknya pemain figuran di sebuah film.

Sialan. 
misi pencarian ‘perempuan paling fenomenal nomer tiga di kehidupanku’ ini sepertinya tidak ada harapan. Bagaimana mungkin aku bisa bertemu dengan dia di tengah kerumunan ini, tanpa SMS, Telfon atau telepati. 

Bagaimana mungkin aku bisa…
Euuh… Tunggu sebentar…

Mataku tertuju ke sosok perempuan berjilbab hitam yang sedang berjalan dengan seorang ibu-ibu. Perempuan berjilbab hitam itu mengenakan tas rangsel nge-pop dengan motif belang-belang ala distro.

Hei!!! itu adalah ‘perempuan paling fenomenal nomer tiga di kehidupanku’!!! Sebuah pertemuan yang sudah ditakdirkan.

Gokil!! 
Beberapa langkah dari gerbang aku langsung bisa menemukan dia. Dadaku mendadak berdegup kencang. Suasana di sekitarku tiba-tiba saja sedikit menghangat dengan hadirnya perempuan berjilbab hitam itu.

Aku teringat pesan singkatku tadi malam.
Balasan pesan singkat itu ternyata datang agak larut.

Memandang dari kejauhan sambil liat sikon mas, kalau memungkinkan ya datangi terus ucapin selamat~’

Seluruh semesta berhenti menghentikan langkahku dengan perlahan. Di kepalaku terdengar lagi suara sendu Payung Teduh yang berjudul Kucari Kamu. Aku tersenyum kecil.

Adududuh. Tunggu sebentar, Sejak kapan aku jadi sepengecut  ini.

***

Jacob Shtarkah duduk bersandar di tembok kusam itu dengan menghela nafas panjang. Wajahnya terlihat lelah dan kusut. Izzy, Si Kecoak juga masih belum bisa berdiri (atau merangkak?) dengan benar. Situasi keduanya cukup konyol apabila di lihat dari sudut pandang orang lain. Namun mereka tidak perduli. orang lain terkadang hanya bisa melihat. Andaikata orang lain itu dihadapkan dengan permasalahan yang sama, mungkin keadaannya juga tidak jauh berbeda.
Itulah kekuatan 'the power of orang lain'!

Setelah obrolan panjang tersebut, obrolan dari satu pihak sebenarnya, ada jeda diam yang cukup lama. Jeda diam itu tiba-tiba dihentikan oleh teriakan Rifka, sang istri Jacob Shtarkah.

“Jacob, Jacob”
“Rifka….”
“Sedang apa kau di gang, ayo lekas naik, saatnya makan malam”
“Baiklah, baiklah, baiklah”

Rifka, istri Jacob.
(Sumber: jewishwomenincomix.blogspot.com)

Jacob mencoba berdiri dengan berusaha memakaikan topi di kepalanya. Sedikit terhuyung-huyung dan meninggalkan Izzy Si Kecoak.

Jacob menghilang memasuki apartemen untuk makan malam, makan malam dengan menu Indomie Rebus?  Mungkin saja. Sementara itu, Izzy terus berusaha bergerak. Setelah beberapa kali sentakan, Si Kecoak itu akhirnya bisa membalikkan badan. 

Ya. Si kecoak itu sekarang sudah bisa bergerak lagi untuk melanjutkan hidupnya.

Saat ‘perempuan paling fenomenal nomer tiga di kehidupanku’ itu muncul, aku hanya berdiri mematung. Bertanya-tanya kepada diri sendiri. Apakah aku harus menemui dan memberinya ucapan selamat? Sepertinya itu sebuah ide yang bagus. Andaikata aku hadir di ‘momen sekali seumur hidup’-nya, pasti makna keberadaanku di kehidupannya bisa naik level. Dari butiran cabe di bumbu Indomie rebus, mungkin menjadi ‘air panas’. 

Air panas yang membuat Indomie rebus itu bisa matang. 
Sepertinya itu sebuah ide yang benar-benar bagus.

Namun apa daya, saat itu  kakiku tidak mau beranjak.
Andaikata keberadaanku di kehidupannya yang besar benar-benar bisa naik level, aku takut kisah cinta random ini malah tidak naik level. Tidak naik level dan tidak segera selesai. Padahal aku harus segera menyelesaikan level ini dan berganti dengan level yang lain. 

Hari itu akhirnya aku hanya datang dan memandang dia dari kejauhan. Tanpa menyapa kemudian pulang seperti tidak pernah terjadi apa-apa.

Asalkan dia bahagia dan  bisa hidup dengan sukses,
dianggap seperti butiran cabe di bumbu Indomie rebuspun juga tidak masalah sih.

Paket sudah pasti dia terima, keadaanku juga masih setali tiga uang dengan keadaan kecoak yang ditemui Jacob Shtarkah. Oke saat ini mungkin aku sudah berdiri, di posisi yang sama seperti Si Izzy. Di depanku saat ini terbentang jalan lebar nan panjang. Kalau kata The Beatles sih The long and widing road.

Yah. Gak papa sih. Detik ini masih terus bergerak melanjutkan hidup. Aku tersenyum kecil.  Di kepalaku terdengar suara sendu. Bukan suara Mohammad Istiqamah Djamad, bukan pula lagunya Payung Teduh. 


Ananda Apriliani.
(sumber: youtube.com)


Suara itu adalah milik Ananda Apriliani  yang sedang meng-cover opening Chibi Maruko Chan. Kok ganti lagu? Iya dong. Aku kan sudah (berusaha) move on. hihihihi

“Hal yang menyenangkan hati banyak sekali bahkan kalau kita bermimpi”
“Sekarang ganti baju, agar menarik hati ayo kita mencari teman.”

*** 
Hari ini tiba-tiba datang pesan singkat dari perempuan paling fenomenal nomer tiga di kehidupanku.

"Jix, aku mbok kirimi komikmu ya. Thanks ya... hehe"

Pepatah populer pernah bilang, dalamnya lautan masih bisa diukur, tetapi dalamnya perasaan perempuan siapa yang tahu. iya enggak?


Mujix
Buat Shinta Kanaya, Selamat ya buat wisudanya.
aku dateng sih, tapi kok enggak nemu kamu ya.
mau aku sms HP ku mendadak baterai-nya abis,
Sekali lagi, Selamat ya buat wisudanya.
Semoga makin sukses, 
Simo, 1 September 2015