megamendungkelabu

Kamis, 23 Februari 2017

Tersesat

Sudah satu minggu lebih. Dan keadaanku belum begitu banyak berubah. Beberapa kali aku harus menghela napas sambil mengacak-acak rambutku yang makin panjang. ‘Berat sekali’, begitu pikirku. Situasi yang harus aku ubah saat ini sangat berat sekali untuk dikalahkan.

Keadaan ruang kerjaku pagi ini cukup kotor dan berantakan. Debu dan tumpukan tanah sisa rumah rayap masih berserakan dimana-mana. Jika mengubah situasi yang berat memang sulit, mungkin lebih baik aku membersihkan ruang kerja yang kotor ini agar lebih nyaman dipandang dan ditinggali, atau setidaknya untuk dipakai buat bekerja.

Begitulah. Aku segera bergegas  mencari sapu dan pengki.
Sapu bisa aku temukan dengan mudah di samping kulkas, biasanya tergantung bersama payung berwarna putih. Payung legendaris dimana pernah menjadi tempat tinggal binatang Lipan yang segede Gaban. Ah, jadi ingat situasi horror saat aku membunuh Lipan tersebut dengan sepatu sebelah ber-merk Converse.

Nah untuk pengki, aku agaknya sedikit kesulitan mencari benda tersebut. Hilir mudik, kesana kemari, dan pengki itu masih ngumpet dimana. Aku tidak menyangka mencari pengki bisa serumit ini. Ternyata bukan hanya mencari ‘tujuan hidup’ saja yang bisa bikin gila. Pengki juga bisa membuat kepalaku edan separuh. Ini nyariin pengki atau berburu jodoh!?

Ah. Tidak ada gunanya mondar-mandir. Aku berhenti di depan pintu. Diam sambil menenangkan diri. Mata dan otakku akhirnya ‘berdamai’ sejenak untuk memfokuskan mencari benda bernama pengki. Aku harus sedikit kalem. agar bisa memperhatikan dan melihat semuanya lebih pelan.

Dan benar saja. Pengki itu makbedunduk nongol begitu saja. Bukan hanya satu!! Ada dua pengki!!!  Satu yang berwarna hijau berada di teras rumah. Dan pengki satunya tergeletak dengan pasrah di samping pintu dekat jendela. Dua-duanya tidak terlihat gara-gara aku yang sedang tersesat di pikiranku sendiri.
Entah siapa yang salah. Umpatan demi umpatan keluar dari mulutku sembari mengambil pengki di teras rumah. Enggak Pengki, Enggak Tujuan Hidup, Enggak Jodoh, kenapa hobi banget nge-buat orang tersesat sih!!??

Aku sedang tersesat. Nyasar. Lost. Keblasuk.

Tersesat! Ketika aku mengetik kata ‘Tersesat’ di Google, yang muncul adalah tersesat lagunya Rhoma Irama. Ini apaan lagi!? Padahal aku berharap yang muncul adalah definisi kata ‘tersesat’ berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kan ‘keren’ tuh bila catatan ini ada istilah rumit beserta artinya dari sumber yang terpercaya. Sekarangkan sedang musim orang-orang kalo ngomong pake istilah rumit dan sulit. Biar kelihatan berpendidikan dan memiliki status sosial yang tinggi. Terus nyalon deh jadi Gubernur atau wakil rakyat. Namun aku sedikit ragu, Gubernur atau wakil rakyat jenis apa yang akan tercipta jika berangkat dari kepalsuan demi citra diri sendiri?

Namun ya sudahlah, Bang Rhoma Irama juga keren kok. Asal gak nongol di acara debat politik aja. Bukan apa-apa. Aku mengagumi beliau sebagai Musisi dangdut yang legendaris. Kalau sebagai seorang politikus, ah... Ya sudahlah.

“Manusia, banyak manusia tersesat
Banyak yang tersesat
Tak tahu apakah tujuan hidupnya
Di dalam dunia”.

Begitulah. Hidupku kali ini terwakili oleh penggal pertama lagu tersesat karya Bang Rhoma Irama.  Beneran.  Aku bingung harus pergi kemana. Sebelum melanjutkan ceritanya, aku ingin bertanya kepada kalian. Kapan pertama kali kalian tersesat dan tidak tahu arah pulang?

Waktu kecil aku pernah tersesat di sebuah kampung di Kota Bogor. Saat itu aku masih sekolah kelas 4 SD. Masih kecil, keriting, dan imut. Sekarang masih keriting juga sih, kribo malah. Kalo imutnya udah enggak. Kayaknya ke-imut-anku udah ilang gara-gara dibarter sama ‘kejamnya kenyataan hidup’. Nah, saat pertema kali liburan ke Bogor, aku hobi banget nge-layap kemana-mana.

Nge-layap paling awesome adalah ke Mall Jambu Dua buat beli komik Dragon Ball pake duit hasil nyolong punya orang tua. Agh. Masa kecil yang tengil.

Ngelayap itu emacam menemukan dunia baru untuk dijelajahi. Gang demi gang aku masuki, beberapa sangat sempit dan membentuk labirin yang membangkitkan berbagai imajinasi. Jalanan beton berwarna kusam yang menurun tak kuasa menahan gejolakku untuk mengenal tempat dan lingkungan baru. Sangat menyenangkan. Hingga akhirnya aku merasa cukup dan segera menyudahi petualangan.

Aku berbalik dan berjalan menuju arah pulang. Beberapa menit berlalu. Rumahku tidak kunjung ketemu. Aneh. Aku kembali berjalan mengulang rute sebelumnya. Tidak menemukan jalan keluar. Aku bingung. Gang yang aku lewati itu harusnya berakhir di sebuah jalan besar, di mana semestinya ada kontrakan rumah orang tua dipinggirnya.

Namun entah mengapa, berkali-kali aku coba gang itu selalu berakhir di sebuah pemakaman besar yang penuh nisan dan Pohon Kamboja.

Ini gimana!?? Aku mulai panik dan mondar-mandir dengan wajah sedih hampir menangis di gang yang sama. Seorang ibu-ibu paruh baya sepertinya kasihan melihatku bersedih. Dan dia bertanya kepadaku dengan bahasa Sunda mengenai apa yang terjadi. Saat itu aku berharap sudah membawa smartphone agar bisa membuka Google Translate, karena bahasa Sunda bagiku saat itu adalah bahasa asing yang belum bisa aku pahami.

Dan berbekal bahasa Jawa ngoko dan bahasa Indonesia seadanya aku bertanya dan menjelaskan permasalahanku saat itu kepada orang-orang disana. Salah satu dari gerombolan ibu-ibu ternyata mengetahui siapa jati diriku sebenarnya. Akhirnya aku dipertemukan lagi dengan rumahku yang di Bogor. Dari peristiwa itu aku belajar satu hal. Jika aku tersesat, cara termudah untuk menemukan jalan adalah bertanya.
Ya. Bertanya.

Bertanya bagi sebagian banyak orang adalah suatu aktivitas yang sulit. Coba ingat-ingat lagi saat sekolah atau kuliah. Pasti ada adegan semacam ini di kehidupan kalian.

“Nah, Anak-anak sekian kuliah hari ini. Ada yang kurang jelas dan ingin ditanyakan?”

Langsung satu kelas kompak pasang muka bengong dan sok sibuk sambil menghindari tatapan  pengajar. . Aku yakin tuh enggak ada yang masuk di otak tuh ilmu.  Kalo kata bang Raditya Dika, Mereka bakal pasang aksi ‘Pura-Pura Mati’. Kalo kataku sih mending ‘Pura-pura Mati’ daripada ‘Pura-pura Mencintai’.

Sepertinya memang benar kata pepatah ‘Malu bertanya sesat dijalan’. Walau sekarang pepatah itu sedikit terbantahkan oleh kehadiran Mas ‘Google Map’ dan Mbak ‘Google Streetview’. Iya sedikit doang. Untuk urusan nyari orang mah yang paling enak nanya sama orang. Bukan sama ‘benda’ buatan orang. Gituh, jaman emang udah canggih coy! Tapi bukan berarti jaman harus kehilangan sisi kemanusiaannya. Elu mau nikah sama gadget!? Enggak kan!? makanye dengerin lanjutan cerita aye.

Belum lama ini aku juga pernah tersesat.  Belum lama berarti masa dimana aku sudah dewasa dan memegang smartphone agar bisa membuka Google Translate.

Nah saat itu aku ingin pergi ke rumah Mas Fatur di daerah Tipes. Buat yang belum tahu, Mas Fatur adalah seniorku saat indekost di Jebres saat kuliah dulu. Beberapa kali beliau membantu masa-masa sulitku dengan meminjamkan komputernya untuk mengerjakan tugas kampus. Kali ini aku ingin pergi ke rumahnya sekalian silaturohmi dan membawakan buku pesanan istrinya, Mbak Dian. Langsung deh aku pergi meluncur ke rumahnya menggunakan sepeda motor.

Sebenarnya lokasi rumah beliau cukup gampang untuk dicari. Namun karena ada perubahan alur jalan di beberapa titik di kota Solo, maka sukseslah aku harus muter ke sana kemari agar bisa berkendara namun tidak melanggar peraturan, secara saat itu aku belum memiliki SIM. Dan begitulah, adegan hilir mudik, kesana kemari, seperti pencarian pengki itu terulang lagi.

Namun bedanya aku tidak mengamalkan sikap ‘tenang’ dan ‘fokus’. Semuanya serba terburu-buru dan ceroboh. Masuk gang! Keluar Gang! Masuk Jalan kecil! Ketemu jalan buntu! Muter lagi! Dan eng-ing-eng, aku bertemu dengan monumen Bung Karno di perbatasan Solo Baru. Karena sifat ceroboh dan rasa percaya diri yang terlalu tinggi aku nyasar di tempat yang bukan aku tuju. Padahal Solo Baru dan Tipes itu jaraknya sangat jauh. Hal itu disebabkan oleh egoku yang terlalu besar untuk tidak bertanya dan terlalu mempercayai intuisi.

Ya, Intuisi. Sebenarnya tidak ada salahnya mempercayai intuisi. Kecuali intuisi yang kamu percayai sedang lemah dan berkarat.Emang bisa intuisi itu lemah dan berkarat? Bisa banget! Sama seperti skill menggambar dan mencintai, intuisi juga harus sering dilatih agar peka dalam membaca pertanda dari semesta. Sama seperti skill menggambar dan mencintai.

Iya, menggambar dan mencintai. Mencintai. Catet.

Kalo cuman tersesat sampai di Solo Baru mah keciiiil! Aku sudah beberapa kali lewat sini. Selama lewat jalan utama aku pasti bakal sampai lagi di Kota Solo. Segera saja aku putar balik dan memacu motorku dengan binal. Aku yakin kalau perjalananku Bisa sampai ke ke rumah Mas Fatur dengan berbekal ingatan sepanjang jalan yang pernah aku lewati.

Dan tentu saja setelah berkendara beberapa saat aku akhirnya bisa bersua dengan beliau yang sekarang sudah beranak tiga. Yang beranak bukan Mas Fatur. Tapi istrinya. Baca dengan teliti dan dengan hati. Harus kalian perhatikan baik-baik, soalnya anak jaman sekarang suka baca caption doang terus motong kalimat seenaknya. Gantian diperkarakan di muka hukum, langsung bilang kalau tindakan itu ‘kriminalisasi’ atas  hak kebebasan berekspresi umat manusia. 
Elu kira hidup cuman elu doang, tong!  

Aku sedang tersesat. Aku sadar betul. Situasi yang harus aku ubah saat ini sangat berat sekali untuk dikalahkan. Kebingungan yang sama seperti saat aku gagal fokus mencari Pengki. Keputusasaan seperti saat aku tersesat di Bogor, dan menunggu pertolongan seseorang. Dan sebenarnya masih ada sedikit keyakinan untuk kembali ke tujuan yang benar, sama saat seperti aku tersesat di Solo Baru. 

Dari beberapa kejadian tersesat di masa lalu, sebenarnya aku agak yakin mempunyai solusi untuk permasalahanku akhir-akhir ini.

Bertanya kepada seseorang atau pergi menuruti intuisi.

Namun beberapa minggu ini aku tidak melaksanakan dua solusi tersebut. 
Karena bertanya kepada seseorang itu membuatku tampak lemah.
Pergi menuruti intuisi yang tumpul adalah tindakan yang sia-sia.
Maka aku lebih memilih untuk diam, berdiri dan berhenti sambil tenggelam dalam keraguan di pikiranku sendiri. Maaf.  

Mujix
Just reading and doing nothing.
Simo, 23 Februari 2017.

Selasa, 07 Februari 2017

Premis Cinta

Malam ini aku teringat banyak di masa lalu.
Ya. Aku memiliki banyak masa lalu. Umur 28 tahun adalah
usia yang telah melalui banyak cerita hidup.

Suasana detik ini sangat hening.
Suara serangga sayup-sayup diluar sana
berpadu dengan bunyi gemeletuk
keyboard yang bercumbu dengan tanganku.

Sepuluh menit sebelumnya aku masih di tempat tidur.
Pikiranku melesat jauh ke jaman SMP.
Entah kenapa tiba-tiba saja aku teringat dengan Mita.
Gadis manis yang dulu jatuh cinta padaku.
Aku masih ingat wajahnya, namun aku lupa dengan
nama lengkapnya. Itu lucu.

Tidak terlalu penting bagaimana kisah cinta itu berjalan dan berakhir.
Toh setahun kemudian aku sudah jatuh cinta lagi dengan
gadis manis yang lain. Namanya Astini, namun aku
selalu memanggilnya 'Pikachu'.

Entah jatuh cinta, atau hanya terkagum-kagum dengan
kepintarannya, aku tidak juga tidak tahu.
Namun adegan dimana dia berteriak dari jalan
untuk mengejek sikap pengecutku, masih terukir jelas.

"Mujix kie piye tho? Mosok seneng aku isin"
Benar. Kalau dipikir-pikir kembali, saat itu
sepertinya aku masih memiliki kesempatan untuk
menjadikannya dia 'PACAR'. Namun kesempatan
itu lenyap begitu saja tergilas oleh perasaanku
terhadap gadis lain.

Begitulah.
Kebodohan demi kebodohan
terus berulang hingga hari ini.

Sanasuke, Popok, Beberapa gadis yang
enggan aku sebut namanya, mereka datang
dan pergi atas nama cinta.

Datang dan pergi.
Namun tidak ada yang tinggal.

Menurutmu siapa yang salah?
Aku? Dia? Tuhan? Perasaan Cinta?
atau waktu yang membuka segalanya?
Benar-benar pertanyaan yang membuatku
tersiksa malam ini.

Saat ini aku memutuskan untuk
menulis buku harian lagi.
Aku butuh tempat dimana aku bisa
menulis apapun yang aku pikirkan.
Tanpa rasa sungkan, tanpa bermacam-macam beban.

Aku adalah tipe netizen yang 'ingin up date status,
di tulis, kemudian dihapus lagi karena
berbagai pertimbangan', semacam itu.
Kurasa kalian tahu maksudku kan?

Btw ini bukan puisi.
Ini hanya sekedar tulisan pengingat saja
kalau benda yang bernama 'cinta' itu
benar-benar momok untuk siapapun
dengan umur berapapun.

Jadi janganlah kalian bingung jika ada
ibu-ibu paruh baya yang akhirnya selingkuh
dengan pria. Cinta itu relatif.

Sial. Kenapa malah ngomongin
ibu-ibu paruh baya sih?

Jika memiliki
kesempatan mengubah masa lalu,
apa yang akan lakukan?

Itu adalah premis sebuah komik yang aku
pikirkan akhir-akhir ini. Apabila dibuat
satu cerita one shoot sepertinya menarik.
Saat ini aku memang benar-benar gawat.

Memiliki banyak keinginan namun
terlalu capek untuk mewujudkannya.
Makanya akhir-akhir ini aku sering
bermalas-malasan di balik pembenaran
kalimat 'Sakmampune, saktekane'.
Begitu. Gile. Postingan ini random sekali sih.
Perutku jadi mules dan pengen ke toilet.
Yowis. Sambung kapan-kapan lagi aja deh.

Jika kalian merasa 'norak' dan 'empet' saat
membaca postingan ini, ingat kalau Cinta itu relatif.
Hihihihi

Mujix
Sedang diujung tanduk!
Tapi masih berjuang untuk
kembali ke panggung.
Simo, 07 Februari 2017.