Suasana ruangan ini
masih sangat lengang. Hembusan angin dari air
conditioner itu tidak membuatku bertambah tenang. sepertinya di dunia ini
hanya tubuhku saja yang masih merasa panas dan bergejolak. Di depanku
terpampang laptop pinjaman dari seorang kerabat, layarnya bercahaya cerah
dengan walpapper merah yang kuambil dari salah satu slide dari materi ujian.
Di
samping laptop itu tergeletak sebuah skripsi tebal berwarna biru muda, yang
sepertinya akan dibantai dengan kejam oleh para dosen penguji hari ini.
Beneran, aku sudah mempersiapkan jiwa ragaku untuk semua hal terburuk yang akan
terjadi. Akhirnya hari ini aku sampai di tahap ini. Sebuah tahap dimana aku
akan menjalani proses ujian akhir untuk memperoleh gelar kesarjanaan di kampus
Institut Seni Surakarta ini. Aku memejamkan mata sejenak. Hari ini akan menjadi
hari yang panjang.
***
Satu hari yang
lalu, jam 05.30 WIB tanggal 10 Juni 2014 di batas desa. Penungguanku akan
sebuah angkot belum juga berakhir. Aku bangun terlalu pagi hari ini, jam 04.00
WIB. Ayam jago jam segitu biasanya masih bikin planning ‘ngawinin ayam betina siapa lagi’ untuk hari ini tuh. Yeah, hari ini pokoknya hari dimana aku harus
bersiap menuju ke Kota Solo sepagi mungkin untuk prepare ujian pendadaran di kampus. Kenapa harus sepagi itu sih?
Iya harus sepagi itu, ada agenda buat mencoba laptop di ruang ujian. Pak Wardi,
staff akademik agak khawatir takutnya laptop yang dipake buat ujian gak cocok.
Doi gak mau ribet kayak tahun kemarin. Yah, pokoknya waktu kemarin ke akademik
dia curcol-curcol gituh. Andaikan dia cewek yang manis, mungkin saat curhat aku
akan bilang gini:
“Honey,
silahkan pake pundakku untuk bersandar sembari dikau menceritakan kisah kelam
itu”.
Sayangnya Pak Wardi
bukan seorang cewek yang manis. Hari itu
aku benar-benar was-was, paranoid dan takut apabila Pak Wardi tiba-tiba bersender
di pundakku. Hiiiiyyy...
Kembali ke topik
‘ke Kota Solo sepagi mungkin untuk prepare
ujian pendadaran’. Perjalanan dari Desaku ke Kota Solo memakan waktu tiga
jam. satu jam buat naik bis, satu buat nunggu bis, dan satu jam sisanya buat
nyari cewek manis yang naik bis. Yang terakhir adalah Satu jam paling sia-sia
dalam hidupku. Bawaanku hari ini juga buanyaknya ngalahin kantong ajaibnya
Doraemon. Di punggungku terdapat tas rangsel berisi banyak buku. Beneran
banyak, mulai dari buku komik yang gak jelas berjudul ‘Go-Go-Go Saiyuki To The West’-nya
Konishi Noriyuki sampai buku keren berjudul ‘The Introvert Advantage’-nya
Marti Olsen.
Di dalam tas berwarna hitam itu juga terdapat Laptop, Charger,
alat mandi, baju ganti bahkan celana kolor untuk mengantisipasi mimpi basah
mendadak ketika nginep di kontrakan teman. Pfft. Sudah cukup? Enggak! Masih ada
lagi. Di tangan kiriku ada tas jinjing bergambar semar yang isinya tak kalah akward. Benda-benda semacam celana
hitam, dasi, skripsi yang tebelnya naujubileh,
ikat pinggang dan almamater pinjeman dari mas Hendro tertata dengan rapi di tas
tersebut.
And finally, aku harus
menggotong benda-benda itu agar sampai Solo selama tiga jam. Jin kura-kura aja
kalah tuh.
Penungguanku akan
sebuah angkot belum juga berakhir, kayaknya jam segitu memang enggak ada angkot
kali ya. Aku mempunyai jurus yang ampuh ketika keadaan semacam itu terjadi.
Keadaan semacam itu gimana? Itu, tuh, keadaan di mana semuanya memburuk dan
membuat kalian galau dan kacau gara-gara prasangka yang enggak baik. Jurus itu
bernama ‘berpikiran positif’. Dan benar saja, jurus itu tiba-tiba berbuah
takdir sederhana bernama ‘adik keponakan jauhmu tiba-tiba lewat dan berbaik
hati memberi boncengan’. That’s awesome!
7 KM adalah jarak yang harus aku tempuh dari desaku
menuju terminal Pasar Simo. Jalan itu membentang dari arah barat menuju timur
hampir membelah 10 desa. Berbagai landscape indah disuguhkan sepanjang
perjalanan. Hamparan sawah yang menghijau, angin sepoi yang berhembus saat aku
berkendara, langit yang merona jingga di ufuk timur, hingga kabut lembut yang
menyelimuti perbukitan, seakan hanya diciptakan untuk para pengelana yang mau
bangun pagi. Iya, pagi itu aku menjadi seorang pengelana. Sebuah julukan yang
keren untuk para perantau yang bergegas mencari ilmu, cinta, dan rejeki.
Angka 7 KM ini terkadang membuatku
bersyukur bahwa aku masih diberi ‘hidup’ hari ini. Beneran.
Hari itu aku tidak
berhenti di Terminal Simo, aku hanya melewatinya saja. adik keponakanku bilang:
“Mas, kita ikut bis
di depan itu yah! Bis itu langgananku, kamu bisa sampai Solo lebih cepat!”
Dia memacu motornya
dengan kencang. Hembusan angin bertambah keras. Terkadang aku harus menyipitkan
mata untuk mencari bis mana sih yang dia maksud. Benar-benar tidak terlihat.
Nun jauh disana hanya tampak bayangan kotak kecil yang blur. Eh itu bis kota
yah? Kacau, mataku yang sepertinya minus itu tidak bisa menangkap obyek itu
dengan jelas.
Setelah mengucapkan
terimakasih dan berpamitan, aku segera menaiki bis itu dengan sigap. adik keponakan langsung hilang ditelan angin.
Perjalanan dari Simo ke Solo biasanya memakan kurang lebih satu jam. Aku
memilih kursi di pojok dekat jendela sebelah timur. Tempat favorit ketika
perjalanan menuju kota Solo. Selain bisa menikmati pemandangan sunrise yang keren, di tempat ini sangat
asik untuk sekedar melamun dan membebaskan pikiran. Situasi seperti itu sangat memorable, yang penting enggak boleh kerasukan gara-gara pikiran
terlalu kosong. Enggak asik banget ketika aku berpose sok wise, tiba-tiba mengaum gara-gara kemasukan makhluk astral sejenis
macan atau harimau. Arrrggggh!!!! Arrrrghhhh!!! #kemasukansaatbikinpostingan
***
Beberapa jam
berlalu. Perjalanan naik bis antar desa ini kurasa segera berakhir. Aku
memasuki daerah Kartosuro. Kurasa tinggal beberapa KM lagi menuju kota Solo.
“Turunin akkuh
doong Ommm! Di sinnnih ajjjah!!” kataku
genit sambil bergelayut manja di pundaknya embak-embak manis di dalam bis.
Aku memberi kode ke
Om Kernet untuk turun di pojok perempatan arah terminal. Di tempat ini adalah
pusatnya arus kendaraan bermotor yang hilir mudik ke berbagai daerah di
Karisidenan Surakarta. Beneran banyak banget. Di tempat ini kalian bisa singgah
ke daerah manapun.
Solo? Guampang!
Jogja? Keciiiiil!
Jakarta? Santaaai.
Tempat yang tidak bisa kamu singgahi dari
daerah ini adalah hatinya mantan. Eaaaaa...
Aku segera begegas
menuju shelter Bus Trans jurusan
Palur. Shelter tersebut berjarak
beberapa meter dari perempatan pojok Kartosuro. Shelter itu berwarna biru tua, di beberapa tempat ada yang berwarna
merah. Ada beberapa bis berjejer di shelter
itu. Aku biasanya mempertimbangkan saat memilih jurusan, namun kali ini aku
langsung saja nyolonong dan memilih kursi paling belakang. Ngadem dan bengong,
berharap tiba-tiba ada Melody Nuramdhani atau Raisa Adriana duduk di sampingku,
ngimpi kali ye. Bus Trans yang berada
di tempat ini semuanya menuju Palur. One
way ticket seharga 3.500 kecuali menuju bandara, dan tentu saja dengan
tambahan fasilitas Air Conditioner.
Fasilitas AC yang kadang gak guna itu
sering bikin gondok, terutama buat
emak-emak dan bapak-bapak yang kadang udah uzur. Akan ada masa dimana emak atau
bapak yang naik bis itu, turun-turun masuk angin dan meriang. Begitulah.
Bus Trans jurusan Palur. Hari
itu ada kejadian yang lucu. Perlu aku kasih tahu, Bus Trans jurusan Palur adalah bis kota yang kernetnya biasanya
seorang wanita. Ada cowoknya sih, tapi udah ah, jangan bahas cowok. Masak cowok
membahas cowok. Nah, yang lucu dari hari itu aku memilih Bus Trans koridor 2 dan bertemu dengan sesosok kernet cewek yang
mirip dengan... Sanasuke...
Kemudian hening...
Beneran... aku
enggak bohong....
Saat itu aku
beneran kaget. Andaikata kejadian itu adalah sinetron kurasa saat itu akan ada
tulisan ‘BERSAMBUNG’ di kiri bawah dekat tanganku.
Aku enggak akan
membahas dia di postingan ini. Enggaaaak! Takut doi kesenengan, takut dibilang
enggak bisa move on, takut apabila
Pak Wardi tiba-tiba bersender di pundakku. Eh.
langsung lanjut saja ke adegan ‘aku turun dengan ganteng di Perempatan
Sekarpace’.
Perempatan
Sekarpace. Sebuah perempatan kecil di daerah Kentingan dengan sebuah jalan
lurus ke arah utara menuju kampus satu ISI Surakarta. Beneran kampus satu. Aku
kuliah di kampus dua. Jarak antara kampus satu dan kampus dua berkisar 3 KM.
Nanti akan aku ceritakan detailnya. Sekarang aku berjalan sedikit kelelahan menuju
warung makan Mbak Yani.
Warung makan
legendaris yang menjadi inspirasi tokoh Mbak Yani di komik Negara ½ Gila.
Perjalanan tiga jam terombang-ambing bis dan angkutan umum itu benar-benar
membuatku ingin segera beristirahat.
Warung makan Mbak Yani adalah titik balik, oase, di mana surga dan
neraka bercampur menjadi satu, di sana tempat Jun menemukan Jin, ah yang
terakhir mulai ngaco. Sepertinya aku benar-benar meracau. Aku butuh teh
hangat!! Teh!! Tolong teh! Kalau enggak ada teh hangat, kasih teteh yang manis
juga gak papah!! Teh!! Teteh yang manis, kesini dong teh!!
Teh hangat. Bagiku,
Ngobrolin warung makan Mbak Yani enggak bisa lepas dengan namanya teh hangat. Rasanya sih biasa aja, tapi sensasinya itu
tuuuh. Gilaaaaak. Di warung, di wedangan atau café-café tenar di kota solo
banyak disediakan teh seduh dengan berbagai campuran. Mulai dari yang sederhana
teh dicampur jeruk yang suka disebut lemon tea, hingga teh yang diracik dengan
susu bernama teh tarik. Percayalah, di warung makannya Mbak Yani ada teh unik yang sangat super duper special
pake sekali. Hanya di tempat ini disediakan teh yang dioplos sama
bacotan-bacotan emosional penjualnya. Komplit deh. Sensasinya
semriwing-semriwing gituh.
Ada sound system otomatis ketika kalian mampir. Baru
nyampe depan warung aja mbak yang sudah tereak-tereak kenceng yang suaranya
nyampe langit ketujuh. Aku sangat yakin, ada beberapa makhluk yang mengira
suara teriakan Mbak Yanni yang membahana itu adalah suara terompet tanda akhir
zaman. Gituh. Jadwal rutinku di warung ini hanya ada dua. Minum teh anget sama
numpang baca komik. Udah. Enggak ada acara salto-saltoan. Mejanya kecil. Enggak
muat buat disaltoin. #nulissambilsalto.
Perjalananku menuju kampus 2 sangatlah terjal. Beneran, hari itu aku
harus berjalan kaki dari warungnya Mbak Yani hingga ke Kampus 2 Mojosongo.
Jaraknya sekitar 2-3 KM. aku agak payah dalam memperkirakan jadwal, namun
perjalanan dengan mode santai biasanya menghabiskan waktu 45 menit. Mode santai
lhoooh yaah. Medan yang paling menyebalkan dalam rute ini adalah kawasan
kuburan cina yang jaraknya sekitar 500 M. kawasan itu berupa jalan lurus
memanjang kearah utara tanpa ada pohon-pohon besar yang menaungi di
pinggirannya.
Kenangan paling berkesan selama aku melintasi areal itu adalah
pergulatan batin antara ketidakpuasanku terhadap hidup dengan kenyataan yang
sedang aku hadapi.
Cieeeh, sok dramatis amat sih. Beneran dramatis kok. Jalur
panjang tersebut seakan menjadi saksi bahwa pernah ada mahasiswa berambut kribo
yang selalu berjalan kaki gara-gara enggak memiliki sepeda motor demi
mendapatkan gelar sarjana. Iya, mahasiswa berambut kribo itu adalah aku. Aku
yang tidak tega untuk merepotkan orang tua dengan berbagai kebutuhanku yang
mungkin akan sangat banyak sekali apabila dibandingkan dengan ‘ para mahasiswa
normal’ lainnya. Hidup mahasiswa enggak normal!!!
Btw jalan lurus kawasan kuburan cina itu mengajarkanku tentang
pentingnya kesabaran dan keteguhan hati dalam mencapai berbagai impian. Ehem.
Ehem.
Aku sampai di kampus 2 jam 9 pagi. Badan penuh peluh, bau apek, ketek
yang tadinya wangi sekarang sudah berbau amis, tinggal dikasih ikan laut udah
cocok tuh jadi menunya Si Mpus. Lebai amat sih kalo nulis, gak separah itu ah.
Aku berjalan menuju teras akademik. Tempat itu berada di gedung dekanat. Aku segera
duduk di kursi panjang berwarna perak tersebut. Menghela nafas panjang, dan
memutuskan untuk beristirahat setengah jam. Saat-saat seperti itu biasanya aku
memejamkan mata dan selalu meyakinkan diri sendiri. Sebuah keyakinan kecil
bahwa semua hal yang terjadi di dunia ini memang seharusnya seperti ini. Pada
keadaan seperti inilah aku merasa benar-benar hidup.
Perjalananku masih sangat panjang. Hari ini belum berakhir. Aku segera
saja ke ruang ujian di lantai 3 dan mencoba semua perlengkapan yang akan
digunakan besok. Semuanya sudah beres. Saatnya kembali ke dunia nyata. Aku
memandang ruangan ujian itu dengan tatapan nanar. Beneran enggak percaya aku
bisa sampai ditahap ini. Ujian pendadaran ini harus dibayar dengan ratusan kali
bangun sesudah subuh, menunggu bis, berteriak kesal dikarenakan tugas yang
belum kelar gara-gara gak punya duit, galau, berjalan berates-ratus kilometer
hanya untuk bisa sampai dikampus, dan masih banyak lagi kejadian-kejadia ajaib
semasa kuliah. Ujian yang sederhana ini ternyata tidak sesederhana yang
terlihat.
***
20 jam kemudian aku sudah berada di ruangan yang
masih sangat lengang ini, memikirkan hembusan angin dari air
conditioner yang membuatku gugup. Akhirnya hari ini aku
sampai di tahap ini. Sebuah tahap dimana aku akan menjalani proses ujian akhir
untuk memperoleh gelar kesarjanaan di kampus Institut Seni Surakarta ini. Aku
memejamkan mata sejenak.
Hari ini akan menjadi hari yang panjang.
Begitulah.
Mujix
eniwei ujian pendadaran itu berjalan lancar.
alhamdulilah. sekarang sedang proses revisi
doain lancar ya folks
Mojosongo, 23 Juni 2014