megamendungkelabu

Minggu, 27 November 2016

27.11.2016

Duck face. Sempat menjadi sebuah tren di kalangan muda-mudi beberapa tahun yang lalu. Caranya mudah, kamu cukup berfoto dengan me-monyong-kan bibir agar terlihat seperti paruh bebek. Cara berfoto yang konyol,  pikirku saat pertama kali melihat tren tersebut. Dasar bego! Mau-maunya bergaya seperti 'binatang' demi mempertahankan eksistensi diri. Aku enggak akan berfoto dengan gaya parah seperti itu.

Berbagai foto duck face sempat hilir mudik di beranda Facebook-ku. Terkadang nongol di postingan paling atas, iya yang suka mepet 'kolom untuk membuat status' itu. Melihat banyak penampakan 'foto muka bebek' itu akhirnya menjadi rutinitas saat berselancar di jejaring sosial.

Kalau yang berfoto cewek yang  wajahnya 'wagu', biasanya aku hanya terkekeh sambil membatin 'ora patut! Nyemplung laut wae!'. Kalau yang berfoto cewek lumayan bohay, paling mendengus sambil membatin 'hmmm, lumayan'. Nah, kalau yang berfoto duck face itu seorang cowok, aku langsung meng-shut down komputer dan langsung tayamum berharap wajah 'najis' para cowok itu hilang dari kepala.

Begitulah, intinya berfoto narsis bergaya muka bebek adalah pertanda sebuah disorientasi eksistensi terhadap diri sendiri. Uaah. Sepertinya aku mengetik sesuatu yang ilmiah (dan enggak paham apa artinya. Oke, lupakan). Pendapat negatifku soal duck face bertahan cukup lama. Begitu kolot, keukeh dan tentu saja tidak bisa dirubah lagi oleh apapun. Hingga akhirnya hari yang ditakdirkan itu tiba. Hari dimana para 'dewa duck face' datang dan memberi pencerahan kepadaku melalui perasaan paling most wanted di alam semesta. Perasaan itu bernama cinta.

Saat itu aku sedang jatuh cinta (atau memaksa jatuh cinta. Atau pura-pura cinta. Atau apapun itu namanya) dengan seseorang. Dan seperti biasa, aku melakukan hal-hal semacam stalking dan menginvestigasi para teman dekatnya demi kelangsungan kisah cintaku. Kisah cinta yang mana lagi nih!? (Buru-buru ambil tisu dan nangis di pojokan).

Euforia dan kemeriahan perasaan saat mencari seluk beluk informasi mengenai mbak gebetan itu sangat menggairahkan. Tanya sana-sini bagai sales MLM yang tengah memprospek targetnya. Bisa mendapatkan berbagai akun media sosialnya adalah pencapaian hakiki yang tidak bisa ditukar apapun. Oh iya. Kecuali akun tersebut di-private. Kalau yang itu ditukar dengan masa aktif pulsapun aku rela.

Untungnya akun mbak gebetan tidak 'digembok'. Langsung tangan beraksi mengobok-obok album foto dari pertama kali mbak gebetan masih jaman alay hingga doi ikutan manequien challange. Dan mengacuhkan hati nurani yang berteriak lantang, 'ngerjain laporan magang sana, Begook!!!!'

Aku beritahu kalian, membuka album foto seorang cewek dari pertama kali dia upload hingga berita terbaru adalah kesempatan emas untuk mempelajari metamorphosa seekor 'ulat' yang berubah menjadi 'kupu-kupu'. Atau sebaliknya. Ehh!!?? Ada!!?? Ada dong!

Klik sana klik sini dengan berwajah merah padam dan hati berdegup kencang. Hingga akhirnya terpampanglah sebuah foto mbak gebetan sedang me-monyongkan bibir seakan mau men-cipok jidatku.

Aku kaget. Aku terhenyak.
Apa-apaan ini!!??? Kenapa kamu harus berfoto seperti itu sih!??
Jadinya kan...
Jadinya kan...
Jadinya kan kamu tambah imut banget...
Kyaaaa...
*sambil tutup muka

Foto itu aku pandang lekat-lekat.

Kang Tibi

Di desaku ada orang gila. Orang-orang memanggilnya Kang Tibi. Nama tersebut sering 'dicatut' oleh ibu-ibu di lingkunganku untuk menakut-nakuti anak-anaknya yang nakal.

Aku sebenarnya iba terhadap Kang Tibi, sudah gila dijadikan momok pula. Kasihan juga anak-anak di lingkunganku itu, tanpa tahu Kang Tibi itu 'apa' atau 'siapa',  tiba-tiba ibunya menciptakan sosok seseorang yang harus ia takuti.

Ibu dari anak-anak yang berada di lingkunganku itu juga lebih kasihan. Entah karena sudah hilang rasa, hilang logika, atau memang sudah kebelet pengen boker, hingga mereka dengan entengnya mencatut harkat martabat seseorang untuk dijadikan pelampiasan.

Tapi sebenarnya ada yang lebih patut dikasihani daripada Kang Tibi, anak-anak itu, atau ibu dari anak-anak di lingkunganku. Memang siapa yang lebih patut dikasihani lagi?

Aku. Penulis tulisan ini yang hanya bisa mengeluh mengenai orang gila yang dijadikan momok oleh para ibu untuk anak-anaknya. Jadi, siapa sebenarnya yang lebih gila?

*ide tulisan ini didapat saat kerja bakti di kampung bersama Kang Tibi. Mungkin dia memang gila, tapi dia rajin bekerja dan selalu riang gembira.

Mujix
Semua orang mendadak gila.
Semua orang mendadak jadi momok. Termasuk aku, kamu, dia, mereka yang membaca tulisan ini.
Kerten, 27 November 2016

Minggu, 20 November 2016

Anak Kecil

Aku capek. Beneran. Liburan singkat ke Pantai Sadranan Jogja kemarin seakan-akan menjadi titik puncak rasa lelahku. Pantai. Iya pantai. Pantai Sadranan dan teman-temannya adalah pantai terbagus yang pernah aku temui. Pemandangannya komplit. Pantai, laut, bukit, batu karang, hingga langit yang luas semua ada di sana.
  
Cuman kurang satu. Enggak ada cewek blonde pake bikini. Adanya ibuk-ibuk paruh baya yang menyewakan tempat berteduh (di bawah pohon entah apa namanya, semacam nanas gituh) seharga 20K.

Aku dan beberapa teman berangkat dari Solo pukul 08.00 WIB. Kami mengambil rute dari Klaten, Cawas, Semin, lalu ke Wonosari (tolong maafkan kalau aku salah nulis rute atau nama daerahnya) sebelum akhirnya sampai di Pantai Sadranan. Perjalanan menuju lokasi membutuhkan waktu 4 jam. Plus nyasar beberapa kali. Setelah tanya sana-sini sampailah kita di Pantai Sadranan.

Silau abis. Itu yang kurasakan pertama kali saat memandang lautan lepas di siang hari. Bau amis dan angin berasa asin bercampur menjadi satu di mukaku. Gila. Tinggal dikasih tepung terigu, mukaku udah bisa jadi ulekan bumbu ikan goreng nih. Kami segera mencari tempat berteduh untuk melepas rasa lelah.

Siang itu benar-benar terang benderang. Apa memang pantai se-menyilaukan ini!? Perasaanku mengatakan kalau aku harus menikmati momen tersebut. Langsung deh, kulepas sepatu dan kaos kaki. Mengambil napas panjang. Menata hati yang hampir berantakan gara-gara kerjaan yang amburadul. Oke. Saatnya ke Pantai.

Pasir pantai di sini cukup bagus. Berjalan bertelanjang kaki di sepanjang pantai merupakan aktivitas yang menyenangkan. Mataku memandang ke segala arah. Langit biru dan laut biru berpadu menjadi satu di dalam kalbu. Aku merasa hidup kembali.

Suasana di sepanjang pantai masih cukup sepi. Hanya terlihat beberapa orang dan anak-anak berlalu lalang. Langkahku terhenti sejenak menatap seorang anak kecil yang sedang sangat girang.

Anak kecil itu mungkin berusia sekitar 2 tahun. Dia menggamit tangan (mungkin) ayah-ayah muda yang sepertinya seumuran denganku. Atau mungkin agak sedikit jauh di bawahku (Iya deh, iya, usiaku memang sudah cukup matang untun punya bini). Pemandangan saat itu sebenarnya cukup sederhana. Seorang ayah yang mengajak anaknya bermain di pantai.

Aku rasa anak kecil itu baru pertama kali pergi ke pantai dan melihat ombak. Setiap kali ada ombak yang datang dan menenggelamkan kakinya, anak kecil itu tertawa bahagia dengan sedikit histeris. Sesekali sang ayah ikut terkekeh melihat tingkah polah anaknya. Terlihat bahagia sekali.

Lama aku berdiri mematung di tempat itu. Diam dan mencoba larut ke dunia mereka. Hatiku sedikit bergetar melihat anak itu terpekik saat ombak laut menenggelamkan kakinya.

Berkali-kali ia terpekik dan histeris bercengkrama dengan ombak, berkali-kali pula hatiku didera perasaan hangat yang entah datang dari mana.

Lihat, anak kecil itu tertawa lagi. Matanya berbinar-binar seperti laut yang menyilaukan mataku.

"Pffftt... Hahaha..."
Tiba-tiba saja perasaan hangat di dadaku ini membuncah menjadi tawa kecil. Aku dan anak itu terbahak-bahak bersama. Lucuu. Senang. Happy. Ini mungkin yang sering disebut dengan 'bahagia itu sederhana'.

Aku masih capek. Beneran. Walau enggak ada cewek blonde berbikini, semuanya aku yakin akan baik-baik saja. Walau masih menyilaukan, Pantai Sadranan yang terang benderang itu perlahan-lahan mulai ramah di penglihatanku.

Entah mataku yang sudah bisa beradaptasi, atau  memang laut yang akhirnya mengalah untuk mengerti isi hati ini.

Mujix
Sudah ngantuk! Harus segera tidur!
Udah hampir jam 2 pagi lhoh. Btw semua list akhrnya sudah kelar.
Kerten, 27 November 3016.

Selasa, 15 November 2016

Jarene Pakne Thole

Dadi wong apik kui angel.
Salah sithik iso kepleset dadi wong elek. Ati kui koyo koco. Gampang pecah lan kudu ati-ati nggowone.

Urip kui nek iso koyo'o rayap neng tembok kamarku. Mbangun  omah munggah terus sak kuate sak tekane. Nek omah'e dirusak tangane uwong, gaweo omah maneh. Ojo nyerah. Nek kowe nyerah, kowe kalah karo rayap.

Jeno kalah yo gak popo sih, soale rayap kancane akeh. Lha kowe mung dhewekan. Nek bejo yo paling diewangi karo Gusti Sing Ngecet Lombok. Nek bejo. Nek ora bejo yo urusono dewe, Le!

Mujix
Ikan Lele-nya ada di termos.
Dia taruh di situ biar aku (sama simbah, mungkin) enggak ikutan makan. Sial. Lelucon semacam ini yang harus aku temui sepanjang hari.
Simo, 14 November 2016

Selasa, 08 November 2016

08.11.2016

Sedang berada di masa sulit, dan ingatanku kembali ke masa saat aku belajar berenang di sebuah sungai pinggiran desa, dan maaf aku lupa nama sungainya.

Bagi para orang tua, sungai itu adalah salah satu tempat yang tidak boleh didatangi. Karena orang tuaku berada di Bogor, maka kau tahu sendirilah.

Aku pergi ke sungai itu dengan niat ingin berenang, atau lebih tepatnya ingin main air. Tentu saja aku memilih di pinggir sungai yang dangkal. Lepas baju dan sotoy bergaya seolah telah menjadi perenang handal.

Secara umum kelompok anak-anak dibagi menjadi dua. Ada yang berenang di pinggiran sungai dan ada yang berenang di tengah sungai. Mereka yang berada di tengah sungai adalah perenang kelas wahid. Selain areanya yang lebih luas, wilayah di tengah sungai memiliki dua batu agak tinggi mirip bukit yang bisa digunakan untuk melompat.

Ya, melompat ke tengah udara dan meluncur langsung ke tengah sungai. Terkadang muncul rasa iri karena tidak bisa ikut bergabung untuk meluncur dari dua batu tersebut. Aku hanya bisa memandang mereka semua saat melompat dan terbang sesaat dengan latar belakang langit biru. Sepertinya menyenangkan.

Entah karena rasa iri yang telah menumpuk dan tak tertahan atau karena didorong rasa penasaran akan sensasi dunia yang baru, siang itu aku memutuskan mencoba melompat dari salah satu batu tersebut. Apakah ilmu berenangku sudah mumpuni? Tentu saja belum.

Berdiri di tebing itu dengan hamparan air sungai yang meluap tentu memiliki sensasi yang berbeda dengan berendam di pinggiran sungai. Atmosfirnya sama saat aku belajar menurunkan sepeda motor di pelataran depan rumah saat selesai hujan. Mungkin itu yang sering disebut 'memicu adrenalin'.

Aku melompat! Detik-detik menakjubkan itu hanya berlangsung sesaat. Tubuhku yang mungil itu melayang sesaat dan langsung diterkam gravitasi bumi.

Byuuur!!!!
Rasanya cukup perih saat kulit bersentuhan dengan air sungai.

Kakiku mencoba mencari pijakan, namun tidak ada apapun. Tanganku mencoba menggapai apapun, namun tidak ada apapun. Hanya ada air. Air dimana-mana. Warnanya agak keruh yang kadang berganti dengan langit biru.

Air masuk tanpa permisi melalui hidung, mata, mulut, dan telinga. Ternyata tenggelam itu rasanya sangat buruk. Sama seperti keadaan sulitku saat ini. Bergerak kemanapun hanya ada air. Bergerak kemanapun hanya ada ego.

Pilihannya hanya ada dua, mengambang mengikuti arus atau menanti tangan seseorang yang menarikmu ke pinggir sungai.

Mujix
Hail Vagito! Enggak sabar nunggu DBS minggu ini.
Simo, 08 November 2016

Jumat, 04 November 2016

Tangan Kanan.

Aku mengetik tulisan ini dengan tangan kanan, itu adalah sebuah kenyataan yang paling dekat di kehidupanku detik ini. Selain mengetik terkadang aku menyambar gelas berisi teh untuk mengobati rasa haus, dengan tangan kanan, tentu saja.

Menggambar komik.
Mengendarai motor (pinjaman).
Menuntun Gantar menuju ke warung untuk membeli entah apa. Dan aku masih bisa menyebutkan ratusan aktivitas lain yang harus menggunakan tangan kanan.

Namun untuk dua menit sebelumnya aku terpaku memandang tangan kanan orang lain. Orang yang tidak sengaja aku temui di wedangan di depan Gramedia Solo.

Beberapa hari ini hidupku sangat menyebalkan. Semua sebab sudah aku hapal di luar kepala. Kasih ujian dadakanpun aku berani. Beberapa permasalahan pekerjaan, perasaan dan kondisi tubuh yang kurang bugar akhirnya berhasil 'mengalahkan' aku. Dengan telak!

Dan seperti manusia pada umumnya, akhir-akhir ini aku selalu bermuka masam seperti Squitward dan selalu mengeluh seperti Smurf Gerutu.

Semuanya tampak begitu buruk. Aku malas menggambar. Aku malas melakukan apapun. Hanya diam di sofa dengan terus mengguman dengan kepala yang terus berpikir keras entah tentang apa.

Hati nuraniku masih sedikit 'waras', berkali-kali ia berteriak 'Sudahlah! Kamu hanya kelelahan!'. Seperti orang gila aku menanggapi teriakan itu dengan ucapan 'lalu apa yang harus kulakukan!!??'.

'Apa kek! Ganti suasana gituh. Ke Gramedia nyari obralan komik bagus!'

Aku tercenung. Sepertinya ide yang bagus. Begitulah. Setidaknya kalian sudah tahu alasan mengapa detik ini aku berada di sini. Di wedangan ini dan terus memperhatikan tangan kanan bapak paruh baya itu dengan tatapan nanar.

Ujung tangan kanan tersebut aku pandangi dengan seksama. Sekilas terlihat seperti buah sawo bulat berwarna coklat. Kalau mau sedikit 'berlebihan', benda itu sebenarnya lebih mirip 'Penis' yang belum disunat.

Namun sayang, benda itu bukanlah buah sawo ataupun penis yang belum disunat.

Benda itu adalah 'sikut' seseorang yang telah kehilangan tangannya.

Ketika aku malas menggambar dan terus berkeluh kesah mengenai hidupku yang memuakkan ini, akhirnya Tuhan mempertemukanku dengan orang tua paruh baya yang (maaf) buntung tangan kanannya. It's the dramatic scene of the day.

Hatiku bergejolak. Biasanya ketika bertemu dengan seseorang yang 'spesial' atau 'berkebutuhan khusus', aku selalu memalingkan muka. Alasannya sederhana, rasa iba yang berada di dalam dada.

Namun tidak untuk saat ini. Aku mengacuhkan rasa iba tersebut. Aku memandangi benda itu dengan akal sehat. Mengukirnya dengan tajam di dalam ingatan, bahwa ada seseorang di luar sana yang terus berusaha untuk terus hidup tanpa tangan kanan.

Iya. Tangan kanan seperti punyaku yang beberapa hari lalu tidak aku gunakan untuk menggambar. Dan seperti itulah Tuhan menjawab permasalahan hamba-Nya yang galau dan berambut kribo.

Mujix
Bentar lagi ganti tahun. Beberapa target kacau balau. Beberapa target terpenuhi tanpa disangka. Namun sayang jodoh masih entah berada dimana. Biarlah tidak apa-apa.
Sriwedari, 3 November 2016